Silent Hill |
Ia bernama Windy. Gadis berkulit sawo matang yang
memiliki rambut ikal berwarna hitam terang. Setiap harinya ia selalu merasa
cemas dan takut saat melihat sosok yang tak ingin dilihat semua orang.
Kemampuan Windy bisa dibilang turunan dari keluarganya. Setelah mulai terbiasa
melihat mahluk-mahluk yang tak enak dipandang. Windy mencoba berinterikasi
namun dalam percobaan pertama gagal. Selama itu ia hanya dapat melihat tanpa
pernah berinteraksi. Windy bisa dibilang gadis yang penakut. Namun takdir
berkata lain atas kemampuannya melihat mahluk astral.
Setiap hari ia selalu mengeluh dan mengeluh dengan
rasa kemapuaanya. Windy mencoba bercerita kepada eyang putrinya mengenai
penglihatannya. Jalan itu pun buntu. Tidak menghasilkan jalan keluar. Hanya
terdengar kata sabar yang keluar dari bibir eyang putrinya.
Beberapa tahun-tahun kemudian Ia mulai merasa gila
dan semakin takut. Selama itu ia selalu bercerita tentang mahluk-mahluk yang
dilihatnya kepada eyang putrinya. Hari-hari berikutnya sebuah jalan terbuka
dari mulut eyang putrinya yang akan memanggil seorang ahli gaib untuk menutup
penglihatan cucunya.
Hari itu pun tiba. Windy duduk dalam posisi bersila.
Sang ahli dengan mulutnya yang berkomat-kamit membacakan sebuah mantra (doa).
Sang ahli terus dan terus mencoba menutupnya. Di puncak tertinggi sang ahli
memutuskan menyerah dan tak akan menutupnya. Sebab di dalam tubuh windy selalu
menolak untuk ditutup, dikarenakan sebuah turunan.
Mendengar kabar itu, petualangan Windy akan terus
berlanjut untuk melihat mahluk-mahluk yang tak ingin dilihatnya.
Barangkali ini puncak dari kisah windy yang
diceritakan kepadaku:
Sepulang dari kantor ia memutuskan untuk mandi dan
menonton televisi sebelum tidur. Bisa dibilang rumah yang ditinggali Windy dan
kedua orangtua-nya cukup besar dan memiliki tangga yang terbuat dari kayu yang
sudah diplistur. Semua keluarganya selalu beramai-ramai menonton televisi
hingga larut malam.
Setelah semua merasa capai, Windy masuk ke dalam
kamar untuk istirahat.
“Krekk!” pintu kamarnya tertutup rapat dan terkunci.
Kamar pun menjadi gelap gulita. Ia sudah siap
tertidur dan bermimpi. Beberapa menit kemudian menjelang nyenyaknya. Suara
tangis perempuan yang lirih itu pun terdengar di kupingnya. Ia mencoba membuka
matanya dengan perasaan takut. Ia pun tidak melihat apa di dalam kamarnya.
Suara tangis itu pun hilang terbawa angin.
Malam berikutnya. Setelah membuka pintu kamarnya
yang terburu-buru, ia melihat sesosok wanita berambut panjang, berpakaian putih
yang menutupi seluruh tubuhnya di pojok samping tempat tidurnya.
Ia segera menutupnya kembali dan berlari menuruni
tangga dan duduk di sofa sambil menghela napas. Ia mengingat kejadian kemarin
malam yang mendengar suara tangis seorang perempuan. Sekarang mahluk itu pun
berada di kamarnya dengan menundukkan kepalanya. Waktu ini tidak pas untuk
hadir dan ini baru pertama kali sosok muncul sampai di dalam kamarnya.
Perasaan bimbang pun hadir di dalam benaknya. Lawan
dan terus lawan rasa bimbang itu dari di dalam dirinya. Perlahan dan perlahan
tubunya menjadi dingin dan melahirkan bulir-bulir keringat di jidat dan tengkuk
lehernya. Dua anak tangga lagi yang harus diinjaknya, agar sampai di lantai
dua, di mana kamarnya berada.
Pintunya perlahan semakin berat untuk dibuka. “Deg!”
pintu terbuka. Wangi kamar tercium sampai hidungnya dari sela-sela pintu yang
terbuka. Setengah dari wajahnya mencoba untuk mengintip ke dalam kamar. Mahluk
itu pun telah hilang dan mungkin akan kembali lagi, itu yang ada dibenaknya.
Ia memutuskan tidak menutup rapat kamar dan tak mengkuncinya.
Lalu lampu tidak akan lagi dimatikan. Semua persiapan itu datang secara
tiba-tiba.
Di atas kasur windy berdoa di dalam hati sebelum
tidur dengan menghadap ke arah kanan, di mana mahluk itu berdiri. Setelah
merasa lelah menghadap ke arah itu, ia mencoba meregangkan tubuhnya. Setelah
itu ia menghadap ke arah lain dan sesuatu yang tak diperkirakan akan hadir tepat
di sampingnya dengan wajah hancur.
Setelah itu kedua sosok itu pun selalu hadir setiap
malam, saat menjelang tidurnya atau saat tidurnya.
“Tak!” Lampu pun mati.
No comments
Post a Comment