Thursday, 29 December 2016

1992

pinterest.com

Puluhan peluru berserakan di jalanan, dan puluhan coretan bertuliskan “sampai jumpa” yang ditulis menggunakan cat berwarna merah. Saat itu delapan oktober tahun seribu Sembilan ratus Sembilan puluh dua. Suasana kota benar-benar mencekam, pasukan bersenjata berdiri dan bersembunyi di sudut-sudut jalan. Jendela, pintu, semua tertutup rapat, sehingga kota ini terasa dihuni oleh puluhan pasukan bersenjata. Per-ekonomian kota ini terhenti sejak puluhan pasukan bersenjata mulai bersembunyi dan menembakan peluru seenak jidatnya.
Delapan oktober seribu Sembilan ratus Sembilan puluh dua, aku satu-satunya orang yang masih membuka dan menjual jasa di masa-masa sulit dan tersembunyi ini. Aku memiliki tempat cukur rambut yang bernama, Slirahmu, yang setiap harinya aku mampu mencukur rambut sebanyak satu orang, meskipun itu seorang pasukan bersenjata. Aku dapat mencium bau mesiu dari tubuhnya lalu juga mampu memegang senjata laras panjang yang berat.
Ia bernama Aner. Seorang perempuan yang masih ranum untuk berkembang menjadi seorang wanita yang cantik. Ia satu-satunya pengunjung yang datang untuk hari ini. Aner menceritakan banyak pengalamannya mengenai bagaimana membunuh orang atau menembakan peluru ke arah kepala seseorang. Malam itu Aner datang tanpa senjata atau bau mesiu. Ia benar-benar cantik dengan bibir yang tak beroleskan gincu, Ia bukan seperti pasukan bersenjata hari ini.
Aner memberikan aku sebuah senjata berukuran kecil untuk berjaga-jaga. Ia memberitahuku mengenai target operasi selanjutnya, yaitu Aku sudah tercatat dalam daftra buronan, dan dituduh sebagai mata-mata pemberontak. Ia mencoba dan memberitahuku supaya aku meninggalkan kota ini dan menutup usahanya. Meskipun begitu yang akan terjadi, aku akan tetap di sini menunggu sampai penembakan itu tiba.
 “Terima kasih!” Kataku.
Ia pergi begitu saja tanpa membalas ucapan terima kasihku. Walau seperti itu ia meninggalkan dua hal di ingatanku: Pertama. Kecantikannya. Kedua. Senjata ini. Alangkah indahnya, bila saja diriku hidup lebih lama, dan tak mati tertembak, aku akan lebih mengenal sosoknya. Namun ia benar-benar pergi dengan meninggalkan senjata ditanganku.

Pagi ini seluruh kota benar-benar tenang, namun hari ini adalah kematianku. Benar sekali apa yang diceritakan oleh orang-orang mengenai kematian, kematian bisa selalu berwujud apa saja. Namun Tuhan telah memilihkanku kematian dalam bentuk peluru yang akan menembus isi kepalaku atau bersarang dan tinggal di kepalaku selama-lamanya.
Kematian bagaikan, ‘Rindu yang harus dibayar tuntas’, seperti yang ditulis oleh Eka Kurniawan.
Hari ini aku tak benar-benar melihat dirinya, ia menghilang dan membuatku seperti hantu yang selalu mengentayangi sudut jalan di sana. Sama seperti kematianku yang selalu menjadi hantu di ingatanku.
Melepas rasa bosan dari menunggu kematianku, aku mencoba duduk dan berpikir bagaimana kematianku akan tiba. Apakah kematianku akan tiba saat aku sedang buang besar? Atau saat aku sedang makan? Menurutku keduannya begitu menyedihkan. Mungkin kematianku akan tiba saat aku sedang duduk dan berpikir seperti saat ini.
DUAR!! Sebuah Peluru melesat ke arah dadaku. Aku merasa sedih akan kematianku ini, dugaanku salah besar mengenai peluru yang bersarang di dadaku, bukan bersarang di kepalaku seperti yang kuinginkan.

Kulihat sepasang mata di kejahuan yang menyala di dalam kegelapan. Kedua mata itu mulai menghilang. Dalam penglihatanku walau tak begitu jelas, munculah seorang pasukan bersenjata yang aku tahu itu adalah Aner. Ia mulai mendekat ke arahku dengan sebuah senjata yang masih dapat aku cium aroma hangat mesiu. Tak begitu lama, DUAR!!! Untuk kedua kalinya aku mendengar suara itu. Alangkah indahnya sebuah kematian.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes