“Izinkan aku mencintai kekasihmu,” aku bertanya
kepada cowonya secara terang-terangan, saat ia sedang makan. Kulihat ia
menggantungkan daun singkong di mulutnya, matanya sedikit melihat ke arahku.
Ia memotong sisa daun singkong yang tadi
digantungkan di mulutnya. Ia melihat ke samping kanan, lalu ke kiri untuk
memastikan apakah ada orang lain selain dirinya yang makan di sini.
“Izinkan aku mencintai kekasihmu,” aku lebih keras
dan penuh semangat mengucapkannya. Tepat di depan wajahnya yang tericum aroma
sayur singkong, aku mengatakan i-z-i-n-k-a-n a-k-u m-e-n-c-i-n-t-a-i
k-e-k-a-s-i-h-m-u dengan perlahan dan
pelan dengan artikulasi yang jelas .
“Silahkan duduk!” Katanya.
“Ya, terima kasih” Jawabku, sambil menahan jeleh
ketika mencium sayur daun singkong yang di makannya.
“Yang barusan kau katakan itu untuk kekasihku? Bukan!”
jawabnya, sambil terus lanjut mengunyah daun singkong.
“Izinkan aku mencintai kekasihmu,”tanyaku.
“Boleh saja kau mencintai kekasihku.” Jawabnya.
“Apakah Kau tidak lagi mencintai kekasihmu?”
Tanyaku.
“Aku sangat mencintai kekasihku setengah mati, dan
tiba-tiba kau bertanya kepadaku, dengan kalimat yang luar biasa yang
mengkoyak-koyak imanku. Ternyata di dunia ini yang kecil ini ada yang mencintai
kekasihku selain diriku.” Jawabnya sambil melihat ke arahku.
“Kenapa kau ingin mencintai kekasihku?” Tanyanya
dengan mulutnya yang belepotan, secuil nasi yang menempel di pojok bibirnya.
“Karena kekasihmu, mencintaiku!” Balasku sambil
menjauhkan wajahku dari jangkauan tangannya.
“Hahah…haha… apa yang membuat kekasihku bisa
mencintaimu!” Ia tertawa mengejek tanpa adegan nasi di pojok bibirnya itu
jatuh.
“Kekasihmu tidak lagi mencintaimu, Bung! Makanya
saya ke sini mau meminta izin untuk mencintai kekasihmu itu.” Jawabku dengan
penuh ketegasan dan sedikit rasa khawatir.
Nasi di pojok bibirnya jatuh di lengannya, lalu
memakannya kembali. Kulihat piringnya bersih tanpa adanya nasi atau sayu
singkong yang tertinggal di piringnya.
“Hahaha…hahaha” ia kembali tertawa tidak jelas.
“Kekasihku, setia, mana mungkin ia mencintai
laki-laki lain selain diriku. Apalagi mencintai dirimu itu tidak mungkin.” Sambungnya
kembali.
“Ini Buktinya.” Aku menunjuk ke diriku sendiri
sebagai bukti aku datang untuk meminta izin.
“Ada alasan lain?” ia bertanya kepadaku.
“Ada.” Jawabku.
“Apa?” balasnya.
“Ia… tidak… suka laki…laki…ya…” jawabku.
“Lesbian?” Sambutnya.
“Bukan! Kau seharusnya tidak memotong ucapanku.
Bung.” Jawabku sedikit merasa kesal.
“Lalu apa? Kau bicara terlalu lama dan terbata-bata.”
Jawabnya.
“Ia tidak suka laki-laki yang doyan makan sayur daun
singkong, Bung! Makanya ia mencintaiku daripada dirimu.”Kataku.
“Persetan! Dengannya.”Jawabnya sambil kembali memesan
sayur daun singkong dan sepiring nasi yang ketiga kalinya.
“Persetan! Juga.” jawabku dalam hati.
No comments
Post a Comment