Kita hidup pada sebuah pertanyaan, di mana jawaban
akan melahirkan pertanyaan baru. Terus dan terus. Diam sebuah pilihan tetapi
bukan jawaban. Militer sudah mengusai perbatasan dan desa-desa kecil, seluruh
kegiatan diawasi oleh militer. Penduduk desa mulai merasakan dampaknya, di mana
para lelaki di tahan dan dijadikan pekerja. Gadis perawan diculik dan dijadikan
pemuas nafsu. Para ibu dipekerjakan di bagian logistik. Lahir di musim dingin di
mana orang-orang sedang merasakan ketakutan perang, di pedalaman hutan suara
tembakan dan ledakan masih terdengar jelas. Tanah membekas puluhan jejak sepatu
pasukan bersenjata, dan alat tempur Tank. Banyak sekali tubuh dan kepala
terpisah, mobil dan bangunan yang ditinggalkan. Seorang anak yang kehilangan
ibunya atau Seorang ibu yang kehilangan anaknya.
Apakah kalian pernah mengalami murung selama satu
bulan penuh, duduk menghadap ke arah sawah hingga malam menjelang. Sewaktu aku
duduk di bangku sekolah dasar, aku termasuk anak yang bodoh dan pemalas, tidak
sanggup menghafal suratan pendek. Saat itu menjadi bahan tertawaan teman-teman.
Suatu waktu aku diramalkan sebagai seorang pendendam, itu dibuktikan ketika aku
duduk di bangku Sekolah tinggi menengah pertama.
Tanpa disadari diriku sudah menyimpan dendam kepada seorang
guru, bernama Bu Erna. Aku sangat membencinya. Rasa-rasanya aku ingin
membunuhnya. Barangkali, jika dingat-ingat, Bu Erna adalah induk dari segala
dendamku. Dendam pertamaku yang selalu tumbuh semakin membesar. Kudengar lantunan
lagu lawas dari radio yang tergantung di pilar kayu, suaranya sedikit gemresek
membuat kupingku terasa sakit.
Aku mencintai seorang wanita selain ibuku, menurutku,
ia lebih cantik dari ibuku. Cukup lama untuk mengetahui namanya. Ia selalu
tersenyum seperti ibuku, hal-hal yang ia lakukan membuatku mengingat ibu di
rumah. Perbedaan ia dan ibuku hanya pada namanya. Ibuku bernama Fatimah Ia
bernama Mirna. O. Tuhan kenapa engkau menciptakan ia begitu mirip dengan ibuku.
Apakah aku harus mencintainya? Suatu waktu diriku terjebak di dalam diriku
sendiri menentukan nasib dan akal. Wajahnya selalu mampir di waktu luang,
seperti yang ayah katakan mengenai ibuku, ibu sewaktu muda termasuk primadona
kampus dan ayahku mahawasiswa yang biasa-biasa saja. Rasanya sekarang aku
menjadi sosok seperti ayahku sewaktu muda. Walau di masa sekarang biasa-biasa
saja tidak ada artinya, setidaknya kita harus menonjolkan diri menjadi yang
terhebat. Hidup memang seperti itu pada kenyataanya, kita hidup seperti di hutan
dengan sedikit perbedaan golongan manusia memiliki akal dan hewan hanya
memiliki nafsu. Terkadang dunia terbalik, hewan menjadi lebih manusia, lalu
manusia lebih menjadi hewan. Maafkan Aku.
Cuaca sedang dingin-dinginya pesawat tempur
melintasi atap-atap rumah, pasukan bersenjata berbaris rapih. Kulihat
orang-orang mencorat-coret tembok bertuliskan ‘keadilan’. Keadilan akan dapat
dirasakan setelah kita mati dan melihat akhirat. Aku tetap duduk di bawah
rindangnya pohon beringin. Sedangkan Orang-orang di sana berteriak-teriak dan
mencari sebuah keadilan. Keadilan keadilan keadilan di mana ada keadilan di
dunia ini, kecuali keadilan pada diri sendiri. Pasukan bersenjeta siap
bersiaga, kendaraan tempur mulai bergerak ke arah kerumunan. Aku meninggalkan
sejuk pohon beringin dan berlari kecil ke arah kerumunan, kulihat pasukan
bersenjata lebih dekat. Mereka tidak mengedipkan mata satu kali pun, apakah
mereka diajarkan untuk seperti itu? Tidak mengedipkan mata. Kasihan sekali.
Dengan santainya aku berjalan menyusuri keramaian masa, “Kami akan berdiri di
sini lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu!” Teriak mereka. Pohon?
Tiang listrik? Apakah mereka ingin menjadi puitis di hadapan pasukan
bersenjata. Ku ulang-ulang kalimat itu di ingatanku, di sepanjang jalan
kemerdekaan ini. Walau ini bukan jalan kemerdekaan.
Rombak dan terus kurombak kalimat itu di ingatanku. “Aku
akan berdiri di sini lebih lama dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik
itu.” Kalimat itu membuatku ingin terus mengingatnya dan mengingatnya.
Barangkali bapak itu tanpa disadari dilahirkan dengan puitis dan para pasukan
bersenjata dilahirkan dengan emosi.
“Aku akan berdiri di sini lebih lama dan lebih lama
seperti pohon dan tiang listrik itu.”
Lantas aku duduk di bangku taman dan melamunkan
keramaiaan ini, Kulihat dinding pembatas itu, bulan termenung anak angin
berseliweran di sela-sela kelekmu, mewariskan wangi dari bagian tubuhmu. Asu! Hewan
pertama yang keluar dari mulutku. Kelekmu? Ada apa dengan kelekmu, Mirna.
“Aku akan berdiri di sini lebih lama
dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu
lalu Kulihat dinding pembatas itu,
bulan termenung anak angin berseliweran
di sela-sela kelekmu, mewariskan wangi dari bagian
tubuhmu.
Kutulis beberapa kalimat di dalam ingatanku
tentang apa dan siapa
yang ditiadakan oleh dirimu.
Aku akan berdiri di sini lebih lama
dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu.”
Lalu aku tertidur di bangku taman selama bertahun-tahun.
No comments
Post a Comment