Tuesday, 2 August 2016

Aku akan berdiri di sini lebih lama dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu


Kita hidup pada sebuah pertanyaan, di mana jawaban akan melahirkan pertanyaan baru. Terus dan terus. Diam sebuah pilihan tetapi bukan jawaban. Militer sudah mengusai perbatasan dan desa-desa kecil, seluruh kegiatan diawasi oleh militer. Penduduk desa mulai merasakan dampaknya, di mana para lelaki di tahan dan dijadikan pekerja. Gadis perawan diculik dan dijadikan pemuas nafsu. Para ibu dipekerjakan di bagian logistik. Lahir di musim dingin di mana orang-orang sedang merasakan ketakutan perang, di pedalaman hutan suara tembakan dan ledakan masih terdengar jelas. Tanah membekas puluhan jejak sepatu pasukan bersenjata, dan alat tempur Tank. Banyak sekali tubuh dan kepala terpisah, mobil dan bangunan yang ditinggalkan. Seorang anak yang kehilangan ibunya atau Seorang ibu yang kehilangan anaknya.

Apakah kalian pernah mengalami murung selama satu bulan penuh, duduk menghadap ke arah sawah hingga malam menjelang. Sewaktu aku duduk di bangku sekolah dasar, aku termasuk anak yang bodoh dan pemalas, tidak sanggup menghafal suratan pendek. Saat itu menjadi bahan tertawaan teman-teman. Suatu waktu aku diramalkan sebagai seorang pendendam, itu dibuktikan ketika aku duduk di bangku Sekolah tinggi menengah pertama.

Tanpa disadari diriku sudah menyimpan dendam kepada seorang guru, bernama Bu Erna. Aku sangat membencinya. Rasa-rasanya aku ingin membunuhnya. Barangkali, jika dingat-ingat, Bu Erna adalah induk dari segala dendamku. Dendam pertamaku yang selalu tumbuh semakin membesar. Kudengar lantunan lagu lawas dari radio yang tergantung di pilar kayu, suaranya sedikit gemresek membuat kupingku terasa sakit.

Aku mencintai seorang wanita selain ibuku, menurutku, ia lebih cantik dari ibuku. Cukup lama untuk mengetahui namanya. Ia selalu tersenyum seperti ibuku, hal-hal yang ia lakukan membuatku mengingat ibu di rumah. Perbedaan ia dan ibuku hanya pada namanya. Ibuku bernama Fatimah Ia bernama Mirna. O. Tuhan kenapa engkau menciptakan ia begitu mirip dengan ibuku. Apakah aku harus mencintainya? Suatu waktu diriku terjebak di dalam diriku sendiri menentukan nasib dan akal. Wajahnya selalu mampir di waktu luang, seperti yang ayah katakan mengenai ibuku, ibu sewaktu muda termasuk primadona kampus dan ayahku mahawasiswa yang biasa-biasa saja. Rasanya sekarang aku menjadi sosok seperti ayahku sewaktu muda. Walau di masa sekarang biasa-biasa saja tidak ada artinya, setidaknya kita harus menonjolkan diri menjadi yang terhebat. Hidup memang seperti itu pada kenyataanya, kita hidup seperti di hutan dengan sedikit perbedaan golongan manusia memiliki akal dan hewan hanya memiliki nafsu. Terkadang dunia terbalik, hewan menjadi lebih manusia, lalu manusia lebih menjadi hewan. Maafkan Aku.

Cuaca sedang dingin-dinginya pesawat tempur melintasi atap-atap rumah, pasukan bersenjata berbaris rapih. Kulihat orang-orang mencorat-coret tembok bertuliskan ‘keadilan’. Keadilan akan dapat dirasakan setelah kita mati dan melihat akhirat. Aku tetap duduk di bawah rindangnya pohon beringin. Sedangkan Orang-orang di sana berteriak-teriak dan mencari sebuah keadilan. Keadilan keadilan keadilan di mana ada keadilan di dunia ini, kecuali keadilan pada diri sendiri. Pasukan bersenjeta siap bersiaga, kendaraan tempur mulai bergerak ke arah kerumunan. Aku meninggalkan sejuk pohon beringin dan berlari kecil ke arah kerumunan, kulihat pasukan bersenjata lebih dekat. Mereka tidak mengedipkan mata satu kali pun, apakah mereka diajarkan untuk seperti itu? Tidak mengedipkan mata. Kasihan sekali. Dengan santainya aku berjalan menyusuri keramaian masa, “Kami akan berdiri di sini lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu!” Teriak mereka. Pohon? Tiang listrik? Apakah mereka ingin menjadi puitis di hadapan pasukan bersenjata. Ku ulang-ulang kalimat itu di ingatanku, di sepanjang jalan kemerdekaan ini. Walau ini bukan jalan kemerdekaan.

Rombak dan terus kurombak kalimat itu di ingatanku. “Aku akan berdiri di sini lebih lama dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu.” Kalimat itu membuatku ingin terus mengingatnya dan mengingatnya. Barangkali bapak itu tanpa disadari dilahirkan dengan puitis dan para pasukan bersenjata dilahirkan dengan emosi.

“Aku akan berdiri di sini lebih lama dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu.”
Lantas aku duduk di bangku taman dan melamunkan keramaiaan ini, Kulihat dinding pembatas itu, bulan termenung anak angin berseliweran di sela-sela kelekmu, mewariskan wangi dari bagian tubuhmu. Asu! Hewan pertama yang keluar dari mulutku. Kelekmu? Ada apa dengan kelekmu, Mirna.

“Aku akan berdiri di sini lebih lama
dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu
lalu Kulihat dinding pembatas itu,
bulan termenung anak angin berseliweran
di sela-sela kelekmu, mewariskan wangi dari bagian tubuhmu.
Kutulis beberapa kalimat di dalam ingatanku
tentang apa dan siapa
yang ditiadakan oleh dirimu.
Aku akan berdiri di sini lebih lama
dan lebih lama seperti pohon dan tiang listrik itu.”

Lalu aku tertidur di bangku taman selama bertahun-tahun.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes