Manusia saling membunuh sesama, apa yang mereka inginkan
dari dunia ini? Kita hidup bersama-sama di bumi ini. Manusia seperti anak kecil
yang hanya ingin menang sendiri. Ratusan hingga jutaan manusia yang tak
bersalah, tewas di tangan para pembunuh yang mengatasnamakan perdamaian.
Sejarah hanyalah pandangan bagi kita agar lebih baik, dan tidak mengulainginya
kembali. Namun manusia-manusia ini bisa disamakan dengan hewan ternak, yang
tidak bisa berpikir. Mereka hanya dapat
diperintah oleh pemiliknya.
Perang ini
tak pernah usai, bunyi senjata masih sering terdengar, juga ledakan misil yang
masih sering menghantam rumah-rumah para penduduk. Aku sudah kehilangan
teman-temanku, kakaku dan kekasihku. Pemerintah masih terus berperang melawan
para pasukan anti-pemerintah. Saya selalu berpikir alasan apa yang membuat
mereka berperang? Barangkali merekah hanya menginginkan ‘perdamaian’,
perdamaian? Mana yang membunuh teman-temanku, juga orang yang tidak tau alasan
peperangan ini. Aku masih bersembunyi di
dalam banker, menunggu perang ini usai. Lebih baik aku memilih tidur daripada
menunggu perang ini usai.
Masjid
melepas subuh ke langit bumi, kulihat seluruh bangunan hancur, rata dengan
tanah. Aku pernah mendengar cerita tentang kota kelahiranku ini, bahwa kotaku
adalah kota pencuri. Ya termasuk saya Ismail Bakhtiar. Memang, dahulu kota ini
dijuluki sebagai kota pencuri. Siapa yang datang ke sini akan diculik dan
disiksa atau dirampah seluruh bawaanya. Nyawa di kota ini sangatlah murah. Bila
tak percaya, aku pernah membunuh seorang ibu dan anak perempuannya. Beliau bernama
Andalis Shirin, lalu anak perempuannya bernama Morilla Luice.
“Jangan ada
satu pun yang hidup dari kota yang kotor ini!” teriak para pasukan pemerintah.
Aku kembali
masuk ke dalam banker, ‘kurang ajar’ mereka mengetahui banker ini. Lantas
kuambil senjata yang kusiapkan kea rah pintu. Beberapa menit kemudian pintu
tidak lagi terdengar hantaman. Aku harus meninggalkan kota ini, sebelum mereka
menemukanku. Pasti para pasukan pemerintah akan terus mencariku.
Angin
menusuk seluruh celah di tubuhku, kulihat lampu pijar di kota Timur sudah mulai
terlihat jelas. Kupersiapkan diriku menghadap para penjaga kota Timur.
“Ada
keperluan apa anda kemari?” Tanya salah satu penjaga.
Jika kalian
tahu di setiap kota di mana pun membutuhkan sebuah code name sepertiku, Ibrahim Zero.
“Silahkan
Tuan Ibrahim Zero”, mereka berdua tersenyum kepadaku.
“Maafkan
saya tuan Ibrahim” mereka berdua menundukkan wajahnya.
Sepuluh
tahun yang lalu ayah dan ibuku tinggal di kota ini, tanpa alasan yang jelas
kami semua ditendang keluar. Aku pernah bertanya kepada ayah, ‘kenapa kami
semua diusir dari kota?’ pertanyaan itu sering aku tanyakan kepada ayah setiap
saat. Apa daya ayahku pergi meninggalkan kami semua. Aku dan adikku mulai
tumbuh besar, ibuku bekerja sebagai pembantu di rumah paman Abu. Setiap siang
hari aku selalu berkunjung ke perpustakaan untuk membaca atau mendengarkan
radio di toko-toko. Setelah aku menginjak umur tujuh belas tahun, aku belum
menemukan apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba pasukan pemerintah menyerang kota,
aku bersembunyi di dalam meja. Beberapa hari kemudian pemerintah kota Timur
melayangkan surat penggusuran pemukiman ini. Para penduduk mengambil sikap
untuk melakukan perang terhadap pemerintah dengan nama anti-pemerintahan.
Itu awal
kekacauan dimulai, juga pertama kalinya aku membunuh orang. Barangkali kepalaku
sudah sakit jiwa akibat kekacauan peperangan ini, Aku membunuh Ibu dan adikku
yang bernama Andalis Shirin dan Morilla Luice.
Di kota Timur sangatlah nyaman untuk membaca buku setiap hari, tanpa perlu berwaspada. Peristiwa seperti pembunuhan, pencurian
sangatlah tidak pernah ditemukan.
Kelak, aku akan
menjadi pembunuh di kota ini.
No comments
Post a Comment