Friday, 26 February 2016

WAR

Manusia saling membunuh sesama, apa yang mereka inginkan dari dunia ini? Kita hidup bersama-sama di bumi ini. Manusia seperti anak kecil yang hanya ingin menang sendiri. Ratusan hingga jutaan manusia yang tak bersalah, tewas di tangan para pembunuh yang mengatasnamakan perdamaian. Sejarah hanyalah pandangan bagi kita agar lebih baik, dan tidak mengulainginya kembali. Namun manusia-manusia ini bisa disamakan dengan hewan ternak, yang tidak bisa berpikir. Mereka  hanya dapat diperintah oleh pemiliknya.

            Perang ini tak pernah usai, bunyi senjata masih sering terdengar, juga ledakan misil yang masih sering menghantam rumah-rumah para penduduk. Aku sudah kehilangan teman-temanku, kakaku dan kekasihku. Pemerintah masih terus berperang melawan para pasukan anti-pemerintah. Saya selalu berpikir alasan apa yang membuat mereka berperang? Barangkali merekah hanya menginginkan ‘perdamaian’, perdamaian? Mana yang membunuh teman-temanku, juga orang yang tidak tau alasan peperangan ini. Aku  masih bersembunyi di dalam banker, menunggu perang ini usai. Lebih baik aku memilih tidur daripada menunggu perang ini usai.

            Masjid melepas subuh ke langit bumi, kulihat seluruh bangunan hancur, rata dengan tanah. Aku pernah mendengar cerita tentang kota kelahiranku ini, bahwa kotaku adalah kota pencuri. Ya termasuk saya Ismail Bakhtiar. Memang, dahulu kota ini dijuluki sebagai kota pencuri. Siapa yang datang ke sini akan diculik dan disiksa atau dirampah seluruh bawaanya. Nyawa di kota ini sangatlah murah. Bila tak percaya, aku pernah membunuh seorang ibu dan anak perempuannya. Beliau bernama Andalis Shirin, lalu anak perempuannya bernama Morilla Luice.
            “Jangan ada satu pun yang hidup dari kota yang kotor ini!” teriak para pasukan pemerintah.
            Aku kembali masuk ke dalam banker, ‘kurang ajar’ mereka mengetahui banker ini. Lantas kuambil senjata yang kusiapkan kea rah pintu. Beberapa menit kemudian pintu tidak lagi terdengar hantaman. Aku harus meninggalkan kota ini, sebelum mereka menemukanku. Pasti para pasukan pemerintah akan terus mencariku.

            Angin menusuk seluruh celah di tubuhku, kulihat lampu pijar di kota Timur sudah mulai terlihat jelas. Kupersiapkan diriku menghadap para penjaga kota Timur.

            “Ada keperluan apa anda kemari?” Tanya salah satu penjaga.

            Jika kalian tahu di setiap kota di mana pun membutuhkan sebuah code name sepertiku, Ibrahim Zero.

            “Silahkan Tuan Ibrahim Zero”, mereka berdua tersenyum kepadaku.

            “Maafkan saya tuan Ibrahim” mereka berdua menundukkan wajahnya.

            Sepuluh tahun yang lalu ayah dan ibuku tinggal di kota ini, tanpa alasan yang jelas kami semua ditendang keluar. Aku pernah bertanya kepada ayah, ‘kenapa kami semua diusir dari kota?’ pertanyaan itu sering aku tanyakan kepada ayah setiap saat. Apa daya ayahku pergi meninggalkan kami semua. Aku dan adikku mulai tumbuh besar, ibuku bekerja sebagai pembantu di rumah paman Abu. Setiap siang hari aku selalu berkunjung ke perpustakaan untuk membaca atau mendengarkan radio di toko-toko. Setelah aku menginjak umur tujuh belas tahun, aku belum menemukan apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba pasukan pemerintah menyerang kota, aku bersembunyi di dalam meja. Beberapa hari kemudian pemerintah kota Timur melayangkan surat penggusuran pemukiman ini. Para penduduk mengambil sikap untuk melakukan perang terhadap pemerintah dengan  nama anti-pemerintahan.

            Itu awal kekacauan dimulai, juga pertama kalinya aku membunuh orang. Barangkali kepalaku sudah sakit jiwa akibat kekacauan peperangan ini, Aku membunuh Ibu dan adikku yang bernama Andalis Shirin dan Morilla Luice.

Di kota Timur sangatlah nyaman untuk membaca buku setiap hari, tanpa perlu berwaspada. Peristiwa seperti pembunuhan, pencurian sangatlah tidak pernah ditemukan.


 Kelak, aku akan menjadi pembunuh di kota ini.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes