Kakek yang pertama kali menceritakan kelahiranku,
tentang bagaimana ibu mengandungku selama tujuh bulan. Dari yang kakek
ceritakan, aku terlahir dengan berat badan yang rendah, juga memiliki jantung
yang lemah. Ibu selalu diam ketika aku bertanya tentang masa kecilku. Aku
bertanya kepada kakek, setelah berseragam biru putih. Semasa sekolah dulu ibu
selalu berpesan padaku agar tidak terlalu capai, dan tidak usah mengikuti
kegiatan olah raga di sekolah. Ketika bermain sepak bola, tiba tiba kepalaku
pusing lalu tak sadarkan diri, itu cerita yang diceritakan oleh temanku semasa
duduk dibangku kelas enam SD. Bisa dibilang diriku pingsan dalam sehari mampu
dua kali dalam sehari, jika keadaan tubuhku benar-benar lelah. Aku selalu
dimarahinya, ketika pulang sekolah dalam keadaan berkeringat. Waktu itu aku
belum sadar, bila dalam tubuhku memeliki kekurangan.
Namun sebelum kelulusan SD, ada hal aneh yang
terjadi pada diriku. Aku mampu keluar dari tubuhku. Kulihat tubuhku sendiri,
yang sedang terduduk. Tapi aku tak mampu menembus tembok atau benda-benda lain.
Kulihat temanku yang sedang berjalan, kucoba merasuki ke dalam tubuhnya, dan
berhasil. Akhirnya ini kelebihanku dari segala kekuranganku. Pelan-pelan
kurasuki tubuhku sendiri. Antara cemas dan takjub akan kemampuanku yang di luar
nalar manusia. Setelah aku berlatih cukup lama dengan kemampuan aneh ini,
diriku sanggup merasuki ke tubuh orang lain dengan begitu cepat. Bisa dibilang
seperti mesin waktu atau teleportasi, kata orang jawa dulu telepati. Sekarang
aku mampu bermain bola tanpa perlu kecapaian, dengan cara diriku merasuki
temanku, ketika sedang bermain bola, atau kegiatan apapun yang tak mampu aku
lakukan.
Setelah kemampuan yang ajib itu. Ibuku tidak pernah
memaraihku lagi, ketika pulang sekolah. Hingga sekarang duduk di kelas dua,
menengah. Aku tidak lagi menggunakan keanehan itu. Aku berpikir, semua yang
kulakukan bukan kemampuanku, aku hanya sebuah arwah yang merasuki tubuh-tubuh orang
lain. Semakin ke sini kondisi tubuhku semakin membaik, tidak ada lagi jantung
yang lemah. Sekarang aku mampu bermain bola, berlari dan meloncat.
Nur. Perempuan pertama yang kusuka di sekolah, yang
mampu melemahkan jantungku lagi. Nur memiliki mata yang bagus, mata yang
seperti bulan. Sorot matanya begitu mampu menundukkanku, Setiap malam aku
selalu menceritakan, Nur kepada Ibuku. Ibuku selalu tersenyum ketika aku
menceritakan tentangnya. Ibu berpesan kepadaku, “Nak, bila kau mencintainya,
dengan perasaan sungguh-sungguh. Jatuhkan dia ke dalam pelukkanmu.” Alangkah
indahnya, apa yang ibu katakan. “Jatuhkan dia ke dalam pelukkanmu.” Itu yang
membuatku semakin percaya diri. Nur. Perempuan pertama yang kuceritakan kepada
ibu. Nur. Cinta pertamaku.
Tanpa ada angin dan hujan, diriku mendapat kabar
buruk mengenai, Nur. Perempuan yang aku cintai. Nur, tewas tertembak. Ketika
rumahnya dirampok pada malam hari yang sunyi. Saat itu juga hatiku benar-benar
kehilangan.
Pada hari pemakamannya, kulihat teman-temanku menangis,
kehilangan Nur. Perempuan yang lucu di mataku juga teman-temanku. Aku ingin
mati tertembak seperti Nur, rasanya aku ingin merasakan apa yang dirasakan
selama waktu kematiaanya. Aku tidak ikut ke pemakaman, rasanya hatiku tidak
kuat lagi. Selama di rumah aku lebih banyak mengurung diri di kamar,
merenungkan Nur. Pintu kamar terbuka, kulihat ibuku tersenyum kepadaku.
“Sudahlah nak, biarkan Nur tenang di alam sana. Bila kau terus merenungkannya,
Nur akan selalu bersedih.” Apa yang diucapkan ibu memang benar. Perasaan
bangkit mulai tumbuh, seperti pohon jati yang menguatkan akar-akarnya ke dalam
tanah.
“Sudah
jangan terus mengurung diri, nak. Menutup
diri bukan tempat yang aman, sebab, luka, sanggup merasuki dari mana saja” ucap
ibu sambil tersenyum padaku.
Aku
tidak lagi melihat Nur melintasi depan kelasku, atau duduk di taman sekolah.
merindu memang seperti alat pembunuh, semacam altileri, yang menembakan ke arah
tubuhku. Namun aku tak pernah mati walau sudah tertembak ribuan kali. Sepulang
sekolah aku tidak mempunyai cerita, untuk diceritakan kepada ibu. Ibu selalu
menceritakan aku tentang orang yang selalu patah hati yaitu Almarhum Ayahku.
Ibu tidak pernah merampungkan ceritanya. Biarkan itu menjadi rahasia ibu.
***
Setahun
setelah aku tidak begitu menginggat lagi mengenai, Nur, namun aku masih ingin
mati tertembak seperti Nur. Selepas kelulusanku, aku mendapat jatah liburan
yang cukup bagiku. Setiap harinya aku menghabiskan waktu dengan membaca buku
puisi. Keinginan mati tertembak semakin besar.
Tanpa
disadari aku sudah begitu lama tidak mencoba kekuatan anehku, kurasuki tubuh
cicak itu, berkeliling ke seluruh ruangan. Lalu berpindah merasuki seekor semut
dan kembali lagi ke dalam tubuh sendiri. Ibu sudah tidak lagi menonton
televisi, jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Haruki kucing
kesayanganku, sudah pulas tertidur di sampingku. Kupejamkan mataku, menuju alam
mimpi. Kudengar suara aneh di belakang rumah, segera aku merasuki ke dalam
tubuh cicak yang sedang mengumpat di balik lemari. Kulihat seorang perampok
memasuki ruang keluarga. Ibu! Itu yang teringat pada saat itu. Menuju fentilasi
kamar ibu, kurasuki tubuh ibu. Untuk meloncat keluar jendela. Namun sebelum itu
semua kulakukan, perampok itu berhasil dulu memasuki kamar ibuku. Aku di dalam
tubuh ibuku, memilih menyerah. Kutunjukan semua uang dan perhiasaan yang
tersimpan di dalam lemari. “Cepat ikuti saya!” ucap perampok. Perampok itu menuju
ke dalam kamarku.
Segera
aku dudukan tubuh ibuku, kurasuki tubuhku sendiri. Perampok menyuruhku duduk di
samping ibuku. Ibuku masih tertidur. Aku tidak ingin merasuki tubuh perampok
itu, karena saya berpikir akan terjadi apa-apa, bila saja perampok nekat lalu
menembak ke arahku atau ke arah ibuku, itu yang saya takutkan.
Ibu
terbangun dari tidurnya, “ini apa-apaan!!
Perampok begitu panik ketika ibu terbangun dari
tidurnya, dengan begitu terkejutnya. Duarr!!! Peluru itu berhasil keluar dari
sarangnya, kurasuki tubuh ibuku. Peluru berhasil menembus perutku, perut ibuku.
Perampok memilih kabur sebelum orang-orang terbangun. Aku keluar dari dalam
tubuhku. Kulihat tubuhku berdarah, dengan peluru yang besarang di dalam
perutku. Ibu bangkit dan berteriak sekeras-kerasnya meminta tolong, setelah
melihatku mati tertembak. Saat itu juga orang-orang berkumpul di dalam rumahku.
Kulihat banyak sekali orang berkerumun di halaman rumahku.
Sekarang aku menjadi seekor kucing, dan mimpiku
telah dikabulkan, mati dengan cara tertembak. Tidak ada lagi tentangku, tidak
ada lagi Nur. Sekarang aku seekor kucing, bernama Haruki. Meeoww!.
No comments
Post a Comment