Saturday, 5 March 2016

Memimpikan Mati Dengan Cara Tertembak

Kakek yang pertama kali menceritakan kelahiranku, tentang bagaimana ibu mengandungku selama tujuh bulan. Dari yang kakek ceritakan, aku terlahir dengan berat badan yang rendah, juga memiliki jantung yang lemah. Ibu selalu diam ketika aku bertanya tentang masa kecilku. Aku bertanya kepada kakek, setelah berseragam biru putih. Semasa sekolah dulu ibu selalu berpesan padaku agar tidak terlalu capai, dan tidak usah mengikuti kegiatan olah raga di sekolah. Ketika bermain sepak bola, tiba tiba kepalaku pusing lalu tak sadarkan diri, itu cerita yang diceritakan oleh temanku semasa duduk dibangku kelas enam SD. Bisa dibilang diriku pingsan dalam sehari mampu dua kali dalam sehari, jika keadaan tubuhku benar-benar lelah. Aku selalu dimarahinya, ketika pulang sekolah dalam keadaan berkeringat. Waktu itu aku belum sadar, bila dalam tubuhku memeliki kekurangan.

Namun sebelum kelulusan SD, ada hal aneh yang terjadi pada diriku. Aku mampu keluar dari tubuhku. Kulihat tubuhku sendiri, yang sedang terduduk. Tapi aku tak mampu menembus tembok atau benda-benda lain. Kulihat temanku yang sedang berjalan, kucoba merasuki ke dalam tubuhnya, dan berhasil. Akhirnya ini kelebihanku dari segala kekuranganku. Pelan-pelan kurasuki tubuhku sendiri. Antara cemas dan takjub akan kemampuanku yang di luar nalar manusia. Setelah aku berlatih cukup lama dengan kemampuan aneh ini, diriku sanggup merasuki ke tubuh orang lain dengan begitu cepat. Bisa dibilang seperti mesin waktu atau teleportasi, kata orang jawa dulu telepati. Sekarang aku mampu bermain bola tanpa perlu kecapaian, dengan cara diriku merasuki temanku, ketika sedang bermain bola, atau kegiatan apapun yang tak mampu aku lakukan.

Setelah kemampuan yang ajib itu. Ibuku tidak pernah memaraihku lagi, ketika pulang sekolah. Hingga sekarang duduk di kelas dua, menengah. Aku tidak lagi menggunakan keanehan itu. Aku berpikir, semua yang kulakukan bukan kemampuanku, aku hanya sebuah arwah yang merasuki tubuh-tubuh orang lain. Semakin ke sini kondisi tubuhku semakin membaik, tidak ada lagi jantung yang lemah. Sekarang aku mampu bermain bola, berlari dan meloncat.

Nur. Perempuan pertama yang kusuka di sekolah, yang mampu melemahkan jantungku lagi. Nur memiliki mata yang bagus, mata yang seperti bulan. Sorot matanya begitu mampu menundukkanku, Setiap malam aku selalu menceritakan, Nur kepada Ibuku. Ibuku selalu tersenyum ketika aku menceritakan tentangnya. Ibu berpesan kepadaku, “Nak, bila kau mencintainya, dengan perasaan sungguh-sungguh. Jatuhkan dia ke dalam pelukkanmu.” Alangkah indahnya, apa yang ibu katakan. “Jatuhkan dia ke dalam pelukkanmu.” Itu yang membuatku semakin percaya diri. Nur. Perempuan pertama yang kuceritakan kepada ibu. Nur. Cinta pertamaku.

Tanpa ada angin dan hujan, diriku mendapat kabar buruk mengenai, Nur. Perempuan yang aku cintai. Nur, tewas tertembak. Ketika rumahnya dirampok pada malam hari yang sunyi. Saat itu juga hatiku benar-benar kehilangan.

Pada hari pemakamannya, kulihat teman-temanku menangis, kehilangan Nur. Perempuan yang lucu di mataku juga teman-temanku. Aku ingin mati tertembak seperti Nur, rasanya aku ingin merasakan apa yang dirasakan selama waktu kematiaanya. Aku tidak ikut ke pemakaman, rasanya hatiku tidak kuat lagi. Selama di rumah aku lebih banyak mengurung diri di kamar, merenungkan Nur. Pintu kamar terbuka, kulihat ibuku tersenyum kepadaku. “Sudahlah nak, biarkan Nur tenang di alam sana. Bila kau terus merenungkannya, Nur akan selalu bersedih.” Apa yang diucapkan ibu memang benar. Perasaan bangkit mulai tumbuh, seperti pohon jati yang menguatkan akar-akarnya ke dalam tanah.

“Sudah jangan terus mengurung diri, nak. Menutup diri bukan tempat yang aman, sebab, luka, sanggup merasuki dari mana saja” ucap ibu sambil tersenyum padaku.

            Aku tidak lagi melihat Nur melintasi depan kelasku, atau duduk di taman sekolah. merindu memang seperti alat pembunuh, semacam altileri, yang menembakan ke arah tubuhku. Namun aku tak pernah mati walau sudah tertembak ribuan kali. Sepulang sekolah aku tidak mempunyai cerita, untuk diceritakan kepada ibu. Ibu selalu menceritakan aku tentang orang yang selalu patah hati yaitu Almarhum Ayahku. Ibu tidak pernah merampungkan ceritanya. Biarkan itu menjadi rahasia ibu.

                                                                     ***

            Setahun setelah aku tidak begitu menginggat lagi mengenai, Nur, namun aku masih ingin mati tertembak seperti Nur. Selepas kelulusanku, aku mendapat jatah liburan yang cukup bagiku. Setiap harinya aku menghabiskan waktu dengan membaca buku puisi. Keinginan mati tertembak semakin besar.

            Tanpa disadari aku sudah begitu lama tidak mencoba kekuatan anehku, kurasuki tubuh cicak itu, berkeliling ke seluruh ruangan. Lalu berpindah merasuki seekor semut dan kembali lagi ke dalam tubuh sendiri. Ibu sudah tidak lagi menonton televisi, jam di dinding menunjukan pukul sepuluh malam. Haruki kucing kesayanganku, sudah pulas tertidur di sampingku. Kupejamkan mataku, menuju alam mimpi. Kudengar suara aneh di belakang rumah, segera aku merasuki ke dalam tubuh cicak yang sedang mengumpat di balik lemari. Kulihat seorang perampok memasuki ruang keluarga. Ibu! Itu yang teringat pada saat itu. Menuju fentilasi kamar ibu, kurasuki tubuh ibu. Untuk meloncat keluar jendela. Namun sebelum itu semua kulakukan, perampok itu berhasil dulu memasuki kamar ibuku. Aku di dalam tubuh ibuku, memilih menyerah. Kutunjukan semua uang dan perhiasaan yang tersimpan di dalam lemari. “Cepat ikuti saya!” ucap perampok. Perampok itu menuju ke dalam kamarku.

            Segera aku dudukan tubuh ibuku, kurasuki tubuhku sendiri. Perampok menyuruhku duduk di samping ibuku. Ibuku masih tertidur. Aku tidak ingin merasuki tubuh perampok itu, karena saya berpikir akan terjadi apa-apa, bila saja perampok nekat lalu menembak ke arahku atau ke arah ibuku, itu yang saya takutkan.

            Ibu terbangun dari tidurnya, “ini apa-apaan!!

Perampok begitu panik ketika ibu terbangun dari tidurnya, dengan begitu terkejutnya. Duarr!!! Peluru itu berhasil keluar dari sarangnya, kurasuki tubuh ibuku. Peluru berhasil menembus perutku, perut ibuku. Perampok memilih kabur sebelum orang-orang terbangun. Aku keluar dari dalam tubuhku. Kulihat tubuhku berdarah, dengan peluru yang besarang di dalam perutku. Ibu bangkit dan berteriak sekeras-kerasnya meminta tolong, setelah melihatku mati tertembak. Saat itu juga orang-orang berkumpul di dalam rumahku. Kulihat banyak sekali orang berkerumun di halaman rumahku.


Sekarang aku menjadi seekor kucing, dan mimpiku telah dikabulkan, mati dengan cara tertembak. Tidak ada lagi tentangku, tidak ada lagi Nur. Sekarang aku seekor kucing, bernama Haruki. Meeoww!.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes