Monday, 22 February 2016

Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku



Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku adalah salah satu cerita dari enam belas cerita pendek yang saya ambil dari buku (Kapal Selam Mimpi dan 16 kisah aneh lainnya) karya
Faza Matahari.



Begitu Aku keluar dari perut ibuku, aku pun lupa bahwa aku memiliki sebuah dunia sendiri. Betapa ruginya diriku melupakan tempat itu, padahal di sana ada kedamaian yang sederhana dan juga kebahagaiaan.
            Aku menemukannya kembali ketika suatu pagi aku terbangun dengan posisi tertelungkup di bawah selimut biri langitkuu. Aku tidak berada di kasurku, alih-alih aku berada di bawah langit, di antara pohon-poho berdaun emas kemerahan. Tanah yang kutiduri juga ternyata tertutup oleh lapisan daun-daun kering dan aku bisa merasakan sedikit sisa hujan di daun-daun itu.
            Sambil terduduk, aku memandangai alam seklilingku yang bukan main indahnya. Mengapa aku baru ingat tentang ini sekarang?
            Dengan bermantelkan selimutku, aku pun berjalan mengelilinginya lagi. Sekarang aku ingat semuanya. Pola kulit kayu pohon itu, belokan jalan batu itu, dan air terjun kecil itu. Aku masih ingat semua bukit, semua danau, dan semua lembah. Aku ingat dan kutemukan tidak ada sesuatu pun yang berubah. Inilah kamar tidur seluas bumi-ku!
            Tak jauh dari sini, di tengah kolam luas yang permukannya bagaikan cermin, ada sebuah ranjang dengan kelambu ungu tempatku tidur. Sebuah ranjang di udara terbuka. Cabang-cabang pohon yang ramping dan elok menjulur di sekitarnya, menghiasi pemandangan langit yang tak terbatas.
            Di pinggir kolam sebelah sana, dengan meniti batu-batu di atas air, dan meja batu yang merupakan pusat duniaku. Meja batu itu sangat besar, berbentuk persegi panjang dan berwarna kelabu, dilengkapi dua kursi batu di dua ujungnya. Di meja itu, aturan waktu tidak pernah berlaku, dan kedamaian berlangsung selamanya.
            Tiba-tiba aku merasa harus bergegas karena aku begitu merindukannya. Dan itu dia! Aku merasakan kegembiraan menyebar di hatiku, itu meja batu milikku! Ia menunggu di sana, siap menyambutku. Aku berlari menyosongnya, kemudia kami berpelukan dengan mesra. Betapa aku  merindukannya dan dia merindukanku. Sebenarnya meja batu itu adalah wadah bagi jiwaku, rumah bagi jiwaku. Kami berpelukan sampai semua kabel jiwa kami kembali terhubung.
            Setelah itu, aku duduk di salah satu kursi batu yang biasa kududuki. Aku kembali merasa hidup. Inilah meja ajaib di mana aku bsa memanggil berbagai macam jiwa untuk duduk menemaniku. Di atas meja ini, aku boleh memesan makana apa pun dan minuman apa pun. Semua yang kusukai, semua yang kebetulan sedang terlintas di dalam benakku.
            Aku memesan minuman, dan seekor burung kecil berwarna kuning hijau terbang membawakannya dalam sebuah cawan tanduk. Aku lalu ingat burung kuning hijau itu adalah burung yang biasa melayaniku.
            Aku mengambil cawan tanduk itu dari paruhnya. Kusesap air yang ringan itu, dan bersamaan dengan itu aku merasa menyesapi seluruh alam.  Si burung kuning hijau sudah duduk di kursi di hadapanku. Sekarang sosoknya jadi seperti manusia. Sementara aku menikmati minumanku, ia menyukai lagu indah yang riang dan bergema. Lagu yang dilantunkannya cukup panjang. Aku lupa apakah aku mendengarkannya selama seminggu, sebulan, atau beberapa tahun. Di meja itu tidak pernah ada halangan waktu. Tidak ada yang berlangsung cepat atau terlalu lambat. Lagu sang burung selesai ketika tiba waktu si burung untuk terbang, dan itu adalah waktu yang tepat untukku berhenti mendengarkan lagu.
            Sudah saatnya sebentuk jiwa lain duduk di hadapanku. Itu adalah Sang Musim. Ia berjalan mendekat dari balik rumpun sakura, mengenakan pakaian berwarna gelap. Ia adalah sahabat yang baik, dan memiliki banyak cerita. Ia mengetahui seluk-beluk semua tempat, serta bagaimana kondisi udaranya. Kurasa pengetahuannya mencakup semua ilmu geofisika dan ekologi di dunia manusi. Aku mempunyai banyak pertanyaan mengenai cuaca di sana, dan ia menjelaskan jawabannya dengan cara yang menarik.
“Di sini cuaca selalu menyenakan karena energi yang mengaturnya mengendalikannya sendiri. Sementara di dunia sana dibuat system rumit yang bisa berjalan sendiri, kau mengerti? Semacam pilot otomatis yang sebetulnya sangat seimbang…”
            Aku mengangguk-angguk mengerti. Bila kau mendengrkan suatu penjelasan di meja batu, kau akan paham sepaham-pahamnya dalam sekejap saja. Entah bagaimana aku bisa memahami tentang zat-zat di atmosfer, suhu-suhu di permukaan bumi dan lain sebagainya. Semuanya tergabung dalam satu kepahaman yang lengkap dan alami.
            “Yang tidak aku mengerti adalah bagaimana aku bisa pindah dari dunia yang sempurna ini ke dunia itu?” ujarku membuka topik lainnya.
            Aku melihat wajah Sang Musim jadi sedikit bingung.
            “apakah kau benar-benar tidak ingat?’
            Aku terkejut mendengar jawabannya. Bukankah aku berpindah tiba-tiba seperti saat aku datang dengan selimut biru? Atau  apakah ada alasan lain?
            “memangnya, kau tau aku pindah karena apa?” aku balik bertanya kepada Sang Musim.
Beberapa saat kami saling berpandangan, lalu sang musim berdiri dari kursi di seberang. Ia menundukan  kepalanya sedikit untuk berpamitan, lalu berlalu ke balik rumpun sakura. Sang Musim bukanlah tidak menjawab pertanyaanku, melainkan akulah yang ingin ditinggalkan untuk berpikir sendirian. Aku tak mungkin bisa berkonstrasi pada kata-katanya karena dalam satu kilatan, aku teringat semuanya.
Ya. Itu adalah  beberapa hari sebelum aku pergi. Tiba-tiba saja duniaku dikunjungi oleh seseorang yang tidak aku panggil. Aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Ia datang dari balik pepohonan evergreen dan berjalan mendekat ke arahku. Aku ingat sosoknya yang tegap dan bersahaja ketika ia berkata.
            “salam, wahai penghuni meja batu. Bolehkan saya duduk di sini?” Tanya pria itu tersenyum sambil menunjukan kursi di seberang dengan kelima jarinya.
“Ya, ya, tentu silahkan,”ujarku mempersilahkannya duduk.
Pria itu mengaku sebagai utusan Tuan Pemurah. Aku sendiri sangat mengenal tuan itu, dan aku bertanya dengan tujuan apa ia diutus.
“Ia punya sebuah dunia. Dan ia mengundangmu untuk hidup di sana,”katanya.
Dengan tenang dan sopan, pria berbaju putih keperakan itu menceritakan tentang keadaan di dunia itu. Ia menerangkan tentang pergerakan bulan dan matahari, pergantian siang dan malam, sehingga tiap titik waktudi dsana dapat diukur. Katanya, di dunia itu setiap jiwa memiliki waktu yang terbatas untuk berada di satu tempat, sehingga jiwa-jiwa hampir tidak bisa memilih untuk bertemu dengan jiwa yang mana. Pertemuan-pertemuan seakan terjadi secara acak. Di satu waktu, jiwa-jiwa dapat bersinggungan bertemu. Setelah itu, entah kapan mereka dapat bertemu kembali.
Saat itu, aku terpesona mendengar dunia yang begitu berbeda dengan duniaku. Dunia itu tentulah berisi berbagai kejutan.
“tetapi aku belum mengerti tentang umur. Apa maksudnya lahir, tua, dan mati? Apa itu tahapan dan pertumbuhan?”
Si utusan tersenyum. Ia lalu mengajakku berdiri dan bersama-sama menatap lapangan rumput yang menghampar di depan kami.
“Anggap saja sepetak tanah yang kita pijak ini adalah awal dari hidup. Ini adalah saat di mana kita lahir. Di sini kita masih kecil seperti benih dan belum mengalami apa-apa. Lalu pohon besar itu, anggaplah itu akhir dari masa hidupmu di dunia,”katanya sembari menunjuk sebuah pohon besar yang berdiri sekitar seratus meter dari kami.”
“Nah. Yang kita lakukan adalah pergi ke pohon itu dalam beberapa tahap dengan sebuah cara.”Si utusan berkata begitu, lalu tiba-tiba ia menendang lepas sebelah sandalnya. Sandal itu terbang dan mendarat sekitar lima meter di depan. Si utusan lalu melompat-lompat dengan satu kaki yang beralas kaki menuju sandal itu. Setelah sampai, ia mengenakan kedua sandalnya. Lalu ia menendangkan sebelah sandalnya yang lain ke depan lagi dan melompat. Aku terheran-heran dan merasa geli apa yang ia lakukan.
“Ayo, kau ikuti aku juga!” serunya dengan sebelah kaki diangkat. Maka aku ikut menendang sebelah sandalku dan melompat dengan satu kaki seperti yang dilakukannya. Di luar dugaan kegiataan itu membuatku merasa gembira dan terus melompat sambil tertawa-tawa.
Akhirnya, setelah berkali-kali menendang sandal, aku berhasil mengejar si utusan yang telah sampai di bawah pohon. Sambil terengah-engah, sang utusan berkata.
“Begitulah. Hidup di sana hanyalah sementara. Hanya seperti melompat dari sana sampai ke pohon ini. Apakah kau bersedia hidup sementara di dunia itu?”
Dengan senyum terkembang, masih merasa bersemangat setelah melompat, aku mengangguk kuat-kuat tanda setuju. Dan dengan itu, beberapa hari kemudian aku memulai kehidupan sebagai seorang manusia di dunia fana.
                                                               ***
Sekarang, kembali di meja batu, aku merenungkan pertemuanku dengan utusan itu, dan membandingkannya dengan apa yang kualami sendiri. Sepertinya memang begitu. Tahapan-tahapan kehidupan manusia memang seperti permainan ‘tendang sandal ke depan’ itu. Namun. Waktu itu aku tidak mengerti bahwa dalam langkah-langkah melompat itu, sandalku tidak pernah lengkap. Saat satu tahap dicapai dan sandal yang kupakai telah lengkap, aku harus segera menendangkan salah satunya lagi.
Setiap tahap pertumbuhan selalu disertai dengan rasa sakit. Masa kecil ke tahap remaja, lalu dari tahap remaja menuju dewasa, selalu saja meninggalkan sebentuk luka, seperti selembar daun yang menorehkan luka di batang di mana ia tumbuh. Bekas luka itu akan selalu ada, sebagai penanda pertumbuhan.
Waktu itu, aku juga tidak mengerti bahwa terbatasnya waktu perjumpaan dengan jiwa-jiwa yang lain bisa menciptakan banyak kegetiran dan kesalahpahaman. Tidak ada cukup waktu menjelaskan semuanya. Terkadang sebuah momen sudah lewat untuk membahas sesuatu, sementara masih ada sisa-sisa yang mengganjal di hati.
Tanpa sadar, air mataku menetes mengenai meja batu saat aku memikirkan masalah-masalahku di dunia sana. Ada banyak kesalahpahaman, ada banyak hal yang tidak kumengerti.
Dengan lembut, meja batuku rupanya berbisik, “Mengapa kau tidak memanggil jiwa-jiwa yang tengah menghambat pikiranmu itu di sini? Sekarang?”
Mataku terbelalak. Hatiku terlonjak karena gembira. Ia benar. Komunikasi di meja batulah yang sangat kubutuhkan. Meskipun aku hanya berbicara dengan identitas jiwa, dan bukan jiwa itu sendiri, tetapi di sini tidak aka nada halangan waktu dan kesalahpahaman. Kegundahan hatiku pasti terselesaikan. Maka aku memanggil banyak jiwa untuk duduk bersamaku satu per satu. Aku memanggil terlebih dahulu seseorang yang paling kupikirkan. Di dunia itu, banyak hal tidak terkatakan. Namun di sini, kami bisa membicarakan segala kemungkinan dan membuat kesepakatan-kesepakatan. Aku memanggil seseorang dari masa yang telah lewat, yang masih menjadi beban pikiranku. Kami menjelaskan semua yang telah terjadi, semua yang tidak terjadi. Kami membicarakan alasan-alasan dari pilihan kami dan hasil-hasil pilihan itu, hingga tidak ada lagi yang kami sesali. Aku lalu memanggil jiwa tempatku tinggal, dan kami membicarakan apa yang masing-masing kami harapkan. Aku memanggil seseorang yang menginginkan sesuatu dariku, dan kami membandingkan tujuan-tujuan kami, hingga jelaslah perbedaan-perbedaan kami. Aku memanggil hal-hal yang kucintai, aku memanggil angina dan hujan. Aku bahkan memanggil diriku saat aku masih kanak-kanak. Aku berbincang-bincang dengan banyak jiwam sampai aku benar-benar mengerti jiwa-jiwa itu.
Lalu setelah semua percakapan itu, aku dapat tersenyum dengan sangat pua. Aku merasa semuanya jelas sekarang. Tentang sekarang. Dan aku tahu bawah telah tiba waktunya aku harus kembali ke dunia acak itu. Belum saatnya perjalanan menendang sandal itu usai. Meja batulah yang memberitahuku bahwa sebenarnya kesempatan kunjunganku ke sini adalah sebuah pengecualiaan.
Maka aku berjalan melewati lapisan-lapisan rumpun pepohonan yang semakin lama semakin berkabut. Di ujung yang gelap itu, aku akan kembali memasuki dunia fana. Aku tahu aku akan segera lupa rasa kedamaian duniaku lagi. Aku hanya bisa berharap aku akan dapat menjernihkan kepalaku terus-menerus selama ada di sana.

(Saya sangat ‘begitu’ suka dengan cerita “Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku”. Cerita ini ditulis oleh Fazamatahari nama yang begitu indah. “Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku” adalah salah satu cerita dari enam belas cerita pendek yang saya ambil dari buku “Kapal Selam Mimpi dan 16 kisah aneh lainnya. Kalian bisa membelinya di toko buku!)


No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes