Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia
Milikku adalah salah satu cerita dari enam belas cerita pendek yang saya ambil
dari buku (Kapal Selam Mimpi dan 16 kisah aneh lainnya) karya
Faza Matahari.
Faza Matahari.
Begitu Aku keluar dari perut ibuku, aku pun lupa bahwa aku
memiliki sebuah dunia sendiri. Betapa ruginya diriku melupakan tempat itu,
padahal di sana ada kedamaian yang sederhana dan juga kebahagaiaan.
Aku
menemukannya kembali ketika suatu pagi aku terbangun dengan posisi tertelungkup
di bawah selimut biri langitkuu. Aku tidak berada di kasurku, alih-alih aku
berada di bawah langit, di antara pohon-poho berdaun emas kemerahan. Tanah yang
kutiduri juga ternyata tertutup oleh lapisan daun-daun kering dan aku bisa
merasakan sedikit sisa hujan di daun-daun itu.
Sambil
terduduk, aku memandangai alam seklilingku yang bukan main indahnya. Mengapa
aku baru ingat tentang ini sekarang?
Dengan
bermantelkan selimutku, aku pun berjalan mengelilinginya lagi. Sekarang aku
ingat semuanya. Pola kulit kayu pohon itu, belokan jalan batu itu, dan air
terjun kecil itu. Aku masih ingat semua bukit, semua danau, dan semua lembah.
Aku ingat dan kutemukan tidak ada sesuatu pun yang berubah. Inilah kamar tidur
seluas bumi-ku!
Tak jauh
dari sini, di tengah kolam luas yang permukannya bagaikan cermin, ada sebuah
ranjang dengan kelambu ungu tempatku tidur. Sebuah ranjang di udara terbuka.
Cabang-cabang pohon yang ramping dan elok menjulur di sekitarnya, menghiasi
pemandangan langit yang tak terbatas.
Di pinggir
kolam sebelah sana, dengan meniti batu-batu di atas air, dan meja batu yang
merupakan pusat duniaku. Meja batu itu sangat besar, berbentuk persegi panjang
dan berwarna kelabu, dilengkapi dua kursi batu di dua ujungnya. Di meja itu,
aturan waktu tidak pernah berlaku, dan kedamaian berlangsung selamanya.
Tiba-tiba
aku merasa harus bergegas karena aku begitu merindukannya. Dan itu dia! Aku
merasakan kegembiraan menyebar di hatiku, itu meja batu milikku! Ia menunggu di
sana, siap menyambutku. Aku berlari menyosongnya, kemudia kami berpelukan
dengan mesra. Betapa aku merindukannya
dan dia merindukanku. Sebenarnya meja batu itu adalah wadah bagi jiwaku, rumah
bagi jiwaku. Kami berpelukan sampai semua kabel jiwa kami kembali terhubung.
Setelah
itu, aku duduk di salah satu kursi batu yang biasa kududuki. Aku kembali merasa
hidup. Inilah meja ajaib di mana aku bsa memanggil berbagai macam jiwa untuk
duduk menemaniku. Di atas meja ini, aku boleh memesan makana apa pun dan
minuman apa pun. Semua yang kusukai, semua yang kebetulan sedang terlintas di
dalam benakku.
Aku memesan
minuman, dan seekor burung kecil berwarna kuning hijau terbang membawakannya
dalam sebuah cawan tanduk. Aku lalu ingat burung kuning hijau itu adalah burung
yang biasa melayaniku.
Aku
mengambil cawan tanduk itu dari paruhnya. Kusesap air yang ringan itu, dan bersamaan
dengan itu aku merasa menyesapi seluruh alam.
Si burung kuning hijau sudah duduk di kursi di hadapanku. Sekarang
sosoknya jadi seperti manusia. Sementara aku menikmati minumanku, ia menyukai
lagu indah yang riang dan bergema. Lagu yang dilantunkannya cukup panjang. Aku
lupa apakah aku mendengarkannya selama seminggu, sebulan, atau beberapa tahun.
Di meja itu tidak pernah ada halangan waktu. Tidak ada yang berlangsung cepat
atau terlalu lambat. Lagu sang burung selesai ketika tiba waktu si burung untuk
terbang, dan itu adalah waktu yang tepat untukku berhenti mendengarkan lagu.
Sudah
saatnya sebentuk jiwa lain duduk di hadapanku. Itu adalah Sang Musim. Ia
berjalan mendekat dari balik rumpun sakura, mengenakan pakaian berwarna gelap.
Ia adalah sahabat yang baik, dan memiliki banyak cerita. Ia mengetahui
seluk-beluk semua tempat, serta bagaimana kondisi udaranya. Kurasa
pengetahuannya mencakup semua ilmu geofisika dan ekologi di dunia manusi. Aku
mempunyai banyak pertanyaan mengenai cuaca di sana, dan ia menjelaskan
jawabannya dengan cara yang menarik.
“Di sini cuaca selalu menyenakan karena energi yang
mengaturnya mengendalikannya sendiri. Sementara di dunia sana dibuat system
rumit yang bisa berjalan sendiri, kau mengerti? Semacam pilot otomatis yang sebetulnya
sangat seimbang…”
Aku
mengangguk-angguk mengerti. Bila kau mendengrkan suatu penjelasan di meja batu,
kau akan paham sepaham-pahamnya dalam sekejap saja. Entah bagaimana aku bisa
memahami tentang zat-zat di atmosfer, suhu-suhu di permukaan bumi dan lain
sebagainya. Semuanya tergabung dalam satu kepahaman yang lengkap dan alami.
“Yang tidak
aku mengerti adalah bagaimana aku bisa pindah dari dunia yang sempurna ini ke
dunia itu?” ujarku membuka topik lainnya.
Aku melihat
wajah Sang Musim jadi sedikit bingung.
“apakah kau
benar-benar tidak ingat?’
Aku
terkejut mendengar jawabannya. Bukankah aku berpindah tiba-tiba seperti saat
aku datang dengan selimut biru? Atau
apakah ada alasan lain?
“memangnya,
kau tau aku pindah karena apa?” aku balik bertanya kepada Sang Musim.
Beberapa saat kami saling berpandangan, lalu sang musim
berdiri dari kursi di seberang. Ia menundukan
kepalanya sedikit untuk berpamitan, lalu berlalu ke balik rumpun sakura.
Sang Musim bukanlah tidak menjawab pertanyaanku, melainkan akulah yang ingin
ditinggalkan untuk berpikir sendirian. Aku tak mungkin bisa berkonstrasi pada
kata-katanya karena dalam satu kilatan, aku teringat semuanya.
Ya. Itu adalah
beberapa hari sebelum aku pergi. Tiba-tiba saja duniaku dikunjungi oleh seseorang
yang tidak aku panggil. Aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Ia datang
dari balik pepohonan evergreen dan
berjalan mendekat ke arahku. Aku ingat sosoknya yang tegap dan bersahaja ketika
ia berkata.
“salam,
wahai penghuni meja batu. Bolehkan saya duduk di sini?” Tanya pria itu
tersenyum sambil menunjukan kursi di seberang dengan kelima jarinya.
“Ya, ya, tentu silahkan,”ujarku mempersilahkannya duduk.
Pria itu mengaku sebagai utusan Tuan Pemurah. Aku sendiri
sangat mengenal tuan itu, dan aku bertanya dengan tujuan apa ia diutus.
“Ia punya sebuah dunia. Dan ia mengundangmu untuk hidup di
sana,”katanya.
Dengan tenang dan sopan, pria berbaju putih keperakan itu
menceritakan tentang keadaan di dunia itu. Ia menerangkan tentang pergerakan
bulan dan matahari, pergantian siang dan malam, sehingga tiap titik waktudi
dsana dapat diukur. Katanya, di dunia itu setiap jiwa memiliki waktu yang
terbatas untuk berada di satu tempat, sehingga jiwa-jiwa hampir tidak bisa
memilih untuk bertemu dengan jiwa yang mana. Pertemuan-pertemuan seakan terjadi
secara acak. Di satu waktu, jiwa-jiwa dapat bersinggungan bertemu. Setelah itu,
entah kapan mereka dapat bertemu kembali.
Saat itu, aku terpesona mendengar dunia yang begitu berbeda
dengan duniaku. Dunia itu tentulah berisi berbagai kejutan.
“tetapi aku belum mengerti tentang umur. Apa maksudnya
lahir, tua, dan mati? Apa itu tahapan dan pertumbuhan?”
Si utusan tersenyum. Ia lalu mengajakku berdiri dan
bersama-sama menatap lapangan rumput yang menghampar di depan kami.
“Anggap saja sepetak tanah yang kita pijak ini adalah awal
dari hidup. Ini adalah saat di mana kita lahir. Di sini kita masih kecil
seperti benih dan belum mengalami apa-apa. Lalu pohon besar itu, anggaplah itu
akhir dari masa hidupmu di dunia,”katanya sembari menunjuk sebuah pohon besar
yang berdiri sekitar seratus meter dari kami.”
“Nah. Yang kita lakukan adalah pergi ke pohon itu dalam
beberapa tahap dengan sebuah cara.”Si utusan berkata begitu, lalu tiba-tiba ia
menendang lepas sebelah sandalnya. Sandal itu terbang dan mendarat sekitar lima
meter di depan. Si utusan lalu melompat-lompat dengan satu kaki yang beralas
kaki menuju sandal itu. Setelah sampai, ia mengenakan kedua sandalnya. Lalu ia
menendangkan sebelah sandalnya yang lain ke depan lagi dan melompat. Aku terheran-heran
dan merasa geli apa yang ia lakukan.
“Ayo, kau ikuti aku juga!” serunya dengan sebelah kaki
diangkat. Maka aku ikut menendang sebelah sandalku dan melompat dengan satu
kaki seperti yang dilakukannya. Di luar dugaan kegiataan itu membuatku merasa
gembira dan terus melompat sambil tertawa-tawa.
Akhirnya, setelah berkali-kali menendang sandal, aku
berhasil mengejar si utusan yang telah sampai di bawah pohon. Sambil terengah-engah,
sang utusan berkata.
“Begitulah. Hidup di sana hanyalah sementara. Hanya seperti
melompat dari sana sampai ke pohon ini. Apakah kau bersedia hidup sementara di
dunia itu?”
Dengan senyum terkembang, masih merasa bersemangat setelah
melompat, aku mengangguk kuat-kuat tanda setuju. Dan dengan itu, beberapa hari
kemudian aku memulai kehidupan sebagai seorang manusia di dunia fana.
***
Sekarang, kembali di meja batu, aku merenungkan pertemuanku
dengan utusan itu, dan membandingkannya dengan apa yang kualami sendiri. Sepertinya
memang begitu. Tahapan-tahapan kehidupan manusia memang seperti permainan ‘tendang
sandal ke depan’ itu. Namun. Waktu itu aku tidak mengerti bahwa dalam langkah-langkah
melompat itu, sandalku tidak pernah lengkap. Saat satu tahap dicapai dan sandal
yang kupakai telah lengkap, aku harus segera menendangkan salah satunya lagi.
Setiap tahap pertumbuhan selalu disertai dengan rasa sakit. Masa
kecil ke tahap remaja, lalu dari tahap remaja menuju dewasa, selalu saja
meninggalkan sebentuk luka, seperti selembar daun yang menorehkan luka di
batang di mana ia tumbuh. Bekas luka itu akan selalu ada, sebagai penanda
pertumbuhan.
Waktu itu, aku juga tidak mengerti bahwa terbatasnya waktu
perjumpaan dengan jiwa-jiwa yang lain bisa menciptakan banyak kegetiran dan
kesalahpahaman. Tidak ada cukup waktu menjelaskan semuanya. Terkadang sebuah
momen sudah lewat untuk membahas sesuatu, sementara masih ada sisa-sisa yang
mengganjal di hati.
Tanpa sadar, air mataku menetes mengenai meja batu saat aku
memikirkan masalah-masalahku di dunia sana. Ada banyak kesalahpahaman, ada
banyak hal yang tidak kumengerti.
Dengan lembut, meja batuku rupanya berbisik, “Mengapa kau
tidak memanggil jiwa-jiwa yang tengah menghambat pikiranmu itu di sini? Sekarang?”
Mataku terbelalak. Hatiku terlonjak karena gembira. Ia benar.
Komunikasi di meja batulah yang sangat kubutuhkan. Meskipun aku hanya berbicara
dengan identitas jiwa, dan bukan jiwa itu sendiri, tetapi di sini tidak aka
nada halangan waktu dan kesalahpahaman. Kegundahan hatiku pasti terselesaikan. Maka
aku memanggil banyak jiwa untuk duduk bersamaku satu per satu. Aku memanggil
terlebih dahulu seseorang yang paling kupikirkan. Di dunia itu, banyak hal
tidak terkatakan. Namun di sini, kami bisa membicarakan segala kemungkinan dan
membuat kesepakatan-kesepakatan. Aku memanggil seseorang dari masa yang telah
lewat, yang masih menjadi beban pikiranku. Kami menjelaskan semua yang telah
terjadi, semua yang tidak terjadi. Kami membicarakan alasan-alasan dari pilihan
kami dan hasil-hasil pilihan itu, hingga tidak ada lagi yang kami sesali. Aku lalu
memanggil jiwa tempatku tinggal, dan kami membicarakan apa yang masing-masing
kami harapkan. Aku memanggil seseorang yang menginginkan sesuatu dariku, dan
kami membandingkan tujuan-tujuan kami, hingga jelaslah perbedaan-perbedaan
kami. Aku memanggil hal-hal yang kucintai, aku memanggil angina dan hujan. Aku bahkan
memanggil diriku saat aku masih kanak-kanak. Aku berbincang-bincang dengan
banyak jiwam sampai aku benar-benar mengerti jiwa-jiwa itu.
Lalu setelah semua percakapan itu, aku dapat tersenyum
dengan sangat pua. Aku merasa semuanya jelas sekarang. Tentang sekarang. Dan aku
tahu bawah telah tiba waktunya aku harus kembali ke dunia acak itu. Belum saatnya
perjalanan menendang sandal itu usai. Meja batulah yang memberitahuku bahwa
sebenarnya kesempatan kunjunganku ke sini adalah sebuah pengecualiaan.
Maka aku berjalan melewati lapisan-lapisan rumpun pepohonan
yang semakin lama semakin berkabut. Di ujung yang gelap itu, aku akan kembali
memasuki dunia fana. Aku tahu aku akan segera lupa rasa kedamaian duniaku lagi.
Aku hanya bisa berharap aku akan dapat menjernihkan kepalaku terus-menerus
selama ada di sana.
(Saya sangat ‘begitu’ suka dengan cerita
“Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia Milikku”. Cerita ini ditulis oleh
Fazamatahari nama yang begitu indah. “Meja Batu Milikku, di Tengah Dunia
Milikku” adalah salah satu cerita dari enam belas cerita pendek yang saya ambil
dari buku “Kapal Selam Mimpi dan 16 kisah aneh lainnya. Kalian bisa membelinya
di toko buku!)
No comments
Post a Comment