Thursday, 7 January 2016

Musim Semi



“Kakek…Kakek di mana?”, teriak Danar. Ia nar, kakek lagi di gudang. “Sedang apa kakek di gudang, ini waktunya minum obat” kata danar. Aku ingin mati saja, Nar. Kakek sudah tua tidak perlu lagi hidup, dunia ini tidak lagi membutuhkan orang-orang seperti Kakek. Dunia membutuhkan orang-orang seperti kamu Danar, jiwa-jiwa yang muda, dan sanggup untuk bersikap kritis tentang dunia yang ruwet ini. “Kakek. Dunia bukan mahluk hidup, dunia tidak meminta umur dan tidak meminta kematian” kata Danar. “Danar, memang dunia bukan mahluk hidup. Tetapi dunia sebagai tempat mahluk-mahluk untuk bertahan hidup“  “Tolong tinggalkan Kakek sebentar” mohon Kakek.  “Kakek harus minum obat” kata Danar yang mulai kesal. Kakek tidak peduli dengan apa yang Danar perintahkan, kakek sedang menyelami foto mantan kekasihnya. Danar menyimpen curiga apa yang di balik punggung kakeknya.

            Semenjak saat itu kakek tidak pernah keluar dari gudang, setiap harinya setelah saya mengantarkan obat, kakek selalu berbicara tentang mantan kekasihnya. Kakek selalu bercerita mengenai (mantan kekasihnya) yang bernama Chun yang berarti “musim semi” saya mendengarkan dengan tenang. Kakek terus bercerita tentang Chun, gadis keturunan China. Tiba-tiba Kakek mengutip puisi yang pernah ditulis Chun saat masih sekolah menengah.

“Dengan sengaja kau diamkan pesanku,
pesanku menjadi batu, lalu tenggelam ke bawah
dan kau lupakan.”

Kulihat kakek berpikir keras untuk mengingat kelanjutan puisi yang pernah ditulis mantan kekasihnya kakek. Kakek tersenyum, akhirnya aku ingat Danar. “apakah kamu ingin mendengar kelanjutannya?” kata kakek. Aku mengangukkan kepala, dan tersenyum.

“Malam memanjatkan bulan
yang tak akan tergelincir
jatuh ke dalam ketiadaan.Malam tidak akan menjatuhkan
apapun ke dalam cemasmu. Aliran sungaimu yang begitu deras,
dirimu hanyut, membawa cahayayang akan kuambil, kuletakkan di dalam jantung.Jantungku berisikan kata-kata
yang akan meledak di jantungmu.Dan, menjadi nyala untukku. Kubayangkan dirimu di dalam aku
waktu semakin larut, rindu lupa diri.Kubiarkan kau merasuki jiwakuseperti cahaya.”

Mata kakek yang rabun memerah. Aku terbayang, kakek (pasti) sangat mencintai Chun. Kenapa kakek tidak menikaihnya? Bila sudah cinta mati kepada Chun. “Danar, di kehidupan ini (pasti ada) yang tidak bisa dimiliki. Termasuk Chun, mantan kekasihku” ucap kakek. Setelah kematian Wati, kakek kembali terbayang mantan kekasihnya. Wati adalah nenek saya, berarti istri dari kakek saya. Aku memanggilnya Eyang Putri. Memang Kakek tidak pernah mencintai Wati. Wati mempunyai kebiasaan melukai seseorang. Setelah nafsu melukainya kambuh, kakek membawa wati ke dalam rumah. Di sana kakek menerima siksaan yang begitu sakit. Jika nafsu membunuhnya menurun, wati tidak mengingat apa-apa. Menginjak pernikahan yang kedua tahun, Kakek diperintah untuk pergi ke luar kota, atas saran teman-temannya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Sesuatu yang paling ditakuti kakek adalah hawa nafsu Wati untuk melukai seseorang. Sebelum Kakek pergi ke luar kota, kakek menyulap gudang menjadi sebuah ruangan yang bisa disebut ruang isolasi. Di dalam hanya terdapat kursi dan ikatan tangan yang menyatu di pegangang kursi. Kakek membuat itu menjaga rasa kecemasannya. “Bu jika ibu merasa aneh dengan tubuhnya, bisa masuk ke ruangan ini” ucap kakek. “memang kenapa? Ibu tidak sakit, Pak!” tidak apa-apa ibu, jika ibu merasa kangen, ibu, bisa masuk ke ruangan ini. Lalu duduk di kursi itu, dan ikat tangan ibu di kursi. Ibu akan merasa, bapak sedang memeluk ibu. Selepas seminggu setelah kepergian kakek ke luar kota. Tepatnya hari kamis, malam jumat, Wati merasakan tidak enak badan. Wati teringat apa yang diucapkan suaminya sebelum pergi. “masuklah ke dalam ruangan itu” Wati segera masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi dan mengikat kedua tangannya. Di Kota yang baru Kakek sudah mulai bekerja sebagai pengantar surat. Wati mulai kehilangan kesadarannya dan tubunya mulai meronta-ronta tak terkendali. Wati mencoba melepas, ikatan di kursi. Namun wati sudah mulai haus untuk melukai seseorang, wati tidak melihat apa untuk dilukai kecuali tubuhnya sendiri. Wati mulai mencoba menjatuhkan dirinya ke lantai. Wati berhasil melepaskan ikatan di tangannya, wati membenturkan kepalanya berkali-kali, hingga wajah wati berlumuran darah, wati tidak sadarkan diri.

Dua hari tak sadarkan diri. Wati terbangun dengan kepala terasa pusing, dan noda darah membekas di baju dan di dinding. Wati segera keluar dari ruangan dan merasa sudah dipeluk suaminya selama dua hari. “Benar kata sumaiku” kata Wati. Di kota yang besar kakek begitu khawatir dengan Istrinya (Wati). Selama dua hari pingsan, Kakek mengirim beberapa surat sekaligus. Kakeknya teledor tidak menuliskan alamat rumah yang lengkap. Bahwa di kota yang kecil alamat belum begitu jelas. Di akhir bulan Kakek meminta untuk cuti beberapa hari untuk menjenguk Wati. Sepanjang perjalanan pulang Wati kembali merasakan hal aneh di tubuhnya, belum membuka pintu ruangan, wati sudah berubah bukan wati yang baik. Wati bersembunyi ke dalam kamar tidur untuk menunggu suaminya pulang yaitu kakekku. Wati bersembunyi sekitar delapan jam, dengan darah yang sudah mengalir di seluruh tubuhnya. Kakek sudah sampai di teras rumah, ia membuka ruangan isolasi, melihat kursi jatuh, bercak darah yang menghitam. Kakek segera ke dalam kamar melihat, Wati. Sedang berdarah seluruh tubuhnya. Setengah sadar wati merasa kaget tubuhnya berlumuran darah. Dan, setengah kesadarannya masih dikuasi nafsu ingin melukai. “Pak, bunuh saja saya. Saya sudah tidak kuat dengan kondisi seperti ini, di dalam loker itu ada pisau kecil. Bunuh. Aku. Pak!” Aku tau kau juga tidak pernah mencintaiku dari awal pernikahan ataupun sebelum aku mengenalmu. Wati membuka, melemparkan pisau kecil ke arah kakeku. Bunuhlah aku, suamiku. Bencilah aku, seperti kau yang membenciku. Kakekku segera mengambil pisau kecil itu, aku akan membunuh, seperti kau membunuh kekasihku. Pisau melubangi mata sebelah kanan hingga menembus otaknya.

Aku mendengar cerita yang begitu sedih, menakutkan. Dalam pikirku ini berarti ruang isolasi yang mengurung Eyang putri dengan kegilaannya. Kakek memegang sebuah bingkai foto, bergambar Chun yang tersenyum. Danar lihat pisau ini, yang sudah membunuh eyangmu. Lihat noda hitam, ini, adalah darah eyangmu. Yang sebelumnya, pisau ini sudah membunuh Chun kekasih kakek yang kusayang. Apakah kamu tau? Danar. Chun juga mengidap penyakit seperti Eyangmu. Tapi aku lebih mencintai Chun. Danar apakah kamu mau membunuh kakek? Aku tau kau juga mengidap penyakit seperti Eyangmu dan Chun. Bunuhlah kakekmu ini, supaya kakek bisa menyusul Chun di langit dan melihat Wati.

Danar merasa kaget ketika kakek mengetahui kelainanku. “Danar kau sanggup menahannya seperti Chun, tetapi lama kelamaan. Kau tidak akan sanggup menahaannya lagi”

Bunulah kakekmu ini Danar agar rasa hausmu terlampiaskan.

6 comments

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes