“Kakek…Kakek
di mana?”, teriak Danar. Ia nar, kakek lagi di gudang. “Sedang apa kakek di
gudang, ini waktunya minum obat” kata danar. Aku ingin mati saja, Nar. Kakek
sudah tua tidak perlu lagi hidup, dunia ini tidak lagi membutuhkan orang-orang
seperti Kakek. Dunia membutuhkan orang-orang seperti kamu Danar, jiwa-jiwa yang
muda, dan sanggup untuk bersikap kritis tentang dunia yang ruwet ini. “Kakek.
Dunia bukan mahluk hidup, dunia tidak meminta umur dan tidak meminta kematian”
kata Danar. “Danar, memang dunia bukan mahluk hidup. Tetapi dunia sebagai
tempat mahluk-mahluk untuk bertahan hidup“
“Tolong tinggalkan Kakek sebentar” mohon Kakek. “Kakek harus minum obat” kata Danar yang
mulai kesal. Kakek tidak peduli dengan apa yang Danar perintahkan, kakek sedang
menyelami foto mantan kekasihnya. Danar menyimpen curiga apa yang di balik
punggung kakeknya.
Semenjak saat itu kakek tidak pernah
keluar dari gudang, setiap harinya setelah saya mengantarkan obat, kakek selalu
berbicara tentang mantan kekasihnya. Kakek selalu bercerita mengenai (mantan
kekasihnya) yang bernama Chun yang berarti “musim semi” saya mendengarkan
dengan tenang. Kakek terus bercerita tentang Chun, gadis keturunan China.
Tiba-tiba Kakek mengutip puisi yang pernah ditulis Chun saat masih sekolah
menengah.
“Dengan sengaja kau diamkan pesanku,
pesanku menjadi batu, lalu tenggelam ke bawah
dan kau lupakan.”
Kulihat
kakek berpikir keras untuk mengingat kelanjutan puisi yang pernah ditulis
mantan kekasihnya kakek. Kakek tersenyum, akhirnya aku ingat Danar. “apakah
kamu ingin mendengar kelanjutannya?” kata kakek. Aku mengangukkan kepala, dan
tersenyum.
“Malam memanjatkan bulan
yang tak akan tergelincir
jatuh ke dalam ketiadaan.Malam tidak akan menjatuhkan
apapun ke dalam cemasmu. Aliran sungaimu yang begitu deras,
dirimu hanyut, membawa cahayayang akan kuambil, kuletakkan di dalam jantung.Jantungku berisikan kata-kata
yang akan meledak di jantungmu.Dan, menjadi nyala untukku. Kubayangkan dirimu di dalam aku
waktu semakin larut, rindu lupa diri.Kubiarkan kau merasuki jiwakuseperti cahaya.”
Mata
kakek yang rabun memerah. Aku terbayang, kakek (pasti) sangat mencintai Chun.
Kenapa kakek tidak menikaihnya? Bila sudah cinta mati kepada Chun. “Danar, di
kehidupan ini (pasti ada) yang tidak bisa dimiliki. Termasuk Chun, mantan
kekasihku” ucap kakek. Setelah kematian Wati, kakek kembali terbayang mantan
kekasihnya. Wati adalah nenek saya, berarti istri dari kakek saya. Aku
memanggilnya Eyang Putri. Memang Kakek tidak pernah mencintai Wati. Wati mempunyai
kebiasaan melukai seseorang. Setelah nafsu melukainya kambuh, kakek membawa
wati ke dalam rumah. Di sana kakek menerima siksaan yang begitu sakit. Jika
nafsu membunuhnya menurun, wati tidak mengingat apa-apa. Menginjak pernikahan
yang kedua tahun, Kakek diperintah untuk pergi ke luar kota, atas saran
teman-temannya untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Sesuatu yang paling
ditakuti kakek adalah hawa nafsu Wati untuk melukai seseorang. Sebelum Kakek
pergi ke luar kota, kakek menyulap gudang menjadi sebuah ruangan yang bisa
disebut ruang isolasi. Di dalam hanya terdapat kursi dan ikatan tangan yang
menyatu di pegangang kursi. Kakek membuat itu menjaga rasa kecemasannya. “Bu
jika ibu merasa aneh dengan tubuhnya, bisa masuk ke ruangan ini” ucap kakek.
“memang kenapa? Ibu tidak sakit, Pak!” tidak apa-apa ibu, jika ibu merasa
kangen, ibu, bisa masuk ke ruangan ini. Lalu duduk di kursi itu, dan ikat
tangan ibu di kursi. Ibu akan merasa, bapak sedang memeluk ibu. Selepas
seminggu setelah kepergian kakek ke luar kota. Tepatnya hari kamis, malam
jumat, Wati merasakan tidak enak badan. Wati teringat apa yang diucapkan
suaminya sebelum pergi. “masuklah ke dalam ruangan itu” Wati segera masuk ke
dalam ruangan, duduk di kursi dan mengikat kedua tangannya. Di Kota yang baru
Kakek sudah mulai bekerja sebagai pengantar surat. Wati mulai kehilangan
kesadarannya dan tubunya mulai meronta-ronta tak terkendali. Wati mencoba
melepas, ikatan di kursi. Namun wati sudah mulai haus untuk melukai seseorang,
wati tidak melihat apa untuk dilukai kecuali tubuhnya sendiri. Wati mulai
mencoba menjatuhkan dirinya ke lantai. Wati berhasil melepaskan ikatan di
tangannya, wati membenturkan kepalanya berkali-kali, hingga wajah wati
berlumuran darah, wati tidak sadarkan diri.
Dua
hari tak sadarkan diri. Wati terbangun dengan kepala terasa pusing, dan noda
darah membekas di baju dan di dinding. Wati segera keluar dari ruangan dan
merasa sudah dipeluk suaminya selama dua hari. “Benar kata sumaiku” kata Wati.
Di kota yang besar kakek begitu khawatir dengan Istrinya (Wati). Selama dua
hari pingsan, Kakek mengirim beberapa surat sekaligus. Kakeknya teledor tidak
menuliskan alamat rumah yang lengkap. Bahwa di kota yang kecil alamat belum
begitu jelas. Di akhir bulan Kakek meminta untuk cuti beberapa hari untuk
menjenguk Wati. Sepanjang perjalanan pulang Wati kembali merasakan hal aneh di
tubuhnya, belum membuka pintu ruangan, wati sudah berubah bukan wati yang baik.
Wati bersembunyi ke dalam kamar tidur untuk menunggu suaminya pulang yaitu
kakekku. Wati bersembunyi sekitar delapan jam, dengan darah yang sudah mengalir
di seluruh tubuhnya. Kakek sudah sampai di teras rumah, ia membuka ruangan
isolasi, melihat kursi jatuh, bercak darah yang menghitam. Kakek segera ke
dalam kamar melihat, Wati. Sedang berdarah seluruh tubuhnya. Setengah sadar
wati merasa kaget tubuhnya berlumuran darah. Dan, setengah kesadarannya masih
dikuasi nafsu ingin melukai. “Pak, bunuh saja saya. Saya sudah tidak kuat
dengan kondisi seperti ini, di dalam loker itu ada pisau kecil. Bunuh. Aku.
Pak!” Aku tau kau juga tidak pernah mencintaiku dari awal pernikahan ataupun
sebelum aku mengenalmu. Wati membuka, melemparkan pisau kecil ke arah kakeku.
Bunuhlah aku, suamiku. Bencilah aku, seperti kau yang membenciku. Kakekku
segera mengambil pisau kecil itu, aku akan membunuh, seperti kau membunuh
kekasihku. Pisau melubangi mata sebelah kanan hingga menembus otaknya.
Aku
mendengar cerita yang begitu sedih, menakutkan. Dalam pikirku ini berarti ruang
isolasi yang mengurung Eyang putri dengan kegilaannya. Kakek memegang sebuah
bingkai foto, bergambar Chun yang tersenyum. Danar lihat pisau ini, yang sudah
membunuh eyangmu. Lihat noda hitam, ini, adalah darah eyangmu. Yang sebelumnya,
pisau ini sudah membunuh Chun kekasih kakek yang kusayang. Apakah kamu tau?
Danar. Chun juga mengidap penyakit seperti Eyangmu. Tapi aku lebih mencintai
Chun. Danar apakah kamu mau membunuh kakek? Aku tau kau juga mengidap penyakit
seperti Eyangmu dan Chun. Bunuhlah kakekmu ini, supaya kakek bisa menyusul Chun
di langit dan melihat Wati.
Danar
merasa kaget ketika kakek mengetahui kelainanku. “Danar kau sanggup menahannya
seperti Chun, tetapi lama kelamaan. Kau tidak akan sanggup menahaannya lagi”
Bunulah
kakekmu ini Danar agar rasa hausmu terlampiaskan.
perlu Membaca cerita berulang-ulang lagi.. bentar
ReplyDeletebagaimana? hahaha
Deletesedikit harus berpikir untuk mencernanya, nice
ReplyDeleteTerima kasih, walau masih banyak kekurangan. (:
Deletenanti malam beliin saya kopi ya mas
ReplyDeletewww.albumhitam.com
Aku tersentuh :)
ReplyDelete