Seno Gumira Ajidarma
Kopi bukan hanya caffeine, kopi telah menjadi makna
Membaca
laporan majalah National Georgraphic
edisi januari 2005, saya lega. Diakui dalam laporan itu bahwa kopi mengandung Caffeine, yang dengan suatu cara membuat
kita addicted alias kecanduan---dan itulah yang membuat kita selalu
berkata, “Wah, belum ngopi, nih”, (juga terdapat dalam the dan apalagi minuman “pembangkit
energy”) disebutkan pula mengonsumsi kopi dalam batas wajar tidak berbahaya.
Dalam hal kopi, sehari 300 miligram caffeine
disebut sebagai takaran yang moderat. Dioper kopi, itu berarti satu atau dua
cangkir kopi seberat 12 ons, tergantung berapa besar ukuran cangkir kopi anda.
Adapun cangkir saya tergolong kecil, karena saya butuh menyeruput setiap kali
ngantuk. Jadi, saya timbang bubuk kopi saya pergelas kecil itu, ternyata berat
7 gram. Artinya, jika dalam sehari saya minum empat gelas “kopi kecil” (dari”13kopi
Ketjil dan Asap Rokok” dalam keadjaiban di pasar senen karya Misbach Yusa
Biran), saya berjarak 2 gram dari batas 300 miligram tersebut. Jadi masih
tergolong aman.
Semenjad Starbucks, kopi disebut
sebagai “legal drug”. National Geographic
bahkan menyebutkan betapa abad modern sebetulnya digerakan oleh kopi, yang
bikin orang melek, siang maupun malam, dan menghidupkan kota-kota dunia.
Untungnya, manusia bisa menarik diri dengan mudah dari ketagihan kopi ini.
Dengan kata lain, tidak seperti narkoba, tak akan ada “sakaw” kopi. Yang ada hanyalah
beberapa efek padasaraf selama beberapa hari (withdrawal syndrome), namun kemudian tubuh akan segera
menyeimbangkan diri. Perilaku minum kopi telah menggelindingkan sejarah serta
memberi bentuk keberlangsungan budaya kita sekarang---yang telah membuat
Howard Schultz, penemu Starbucks, bukan hanya bisa membawa usahanya ke posisi
fortune 500, melainkan membuat starbucks menjadi ikon global. Dalam konturksi
budaya kopi, Indonesia ternyata bicara banyak. Di berbagai kedai Starbucks
kota-kota dunia, tertulis dengan kapurdi papan eksotik mereka, betapa kopi Sumatra
bukan sekedar sekelas disbanding espresso Brazillia yang terkenal itu. Kalau
tertulis neon-sign JAVA, ini tidak
selalu terhubungkan dengan computer, melainkan tempat ngopi. Masalahnya, di
manakan tempat orang Indonesia?
Perhatikan kisah ‘kopi luwak’ yang
diberitakan The Jakarta Post tanggal 18 Februari 2005: ternyata inilah kopi
termahal di dunia, karena hanya biji kopi yang terbungkus faeces (tinja) luwak dianggap sahih sebagai ‘kopi luwak’---jadi
bukan sekedar ber-merk Kopi Luwak. Harga bijinya mencapai US$250 per kilo
(unroadsted) dan US$600 per kilo (roasted), dan per cangkirnya bisa mencapai
US$5. Kita memang bicara tentang dunia kopi internasional, meski kebun
penyuplai ‘kopi luwak’ dunia ini hanya ada di Sumatra, tetapi dimiliki
Daarhnour dari Belanda, yang mendistribusikannya terutama ke Amerika Serikat,
dengan M. P. Mountanos Inc, di Los Angeles, sebagai pelanggan terbesar. Tentu
jadi ironis ‘kopi luwak’ yang tulen tak bisa dibeli di Indonesia, karena memang
terlalu langka, Seorang pengimpor lain, Lenny Cooper dari LJ CooperCo, juga
memburu kopi berkualitas ke Sulawesi selain Sumatra. Sekali lagi, kita seperti tak
ada di sana.
Saya percaya tak kurang banyaknya
orang Indonesia menjadi miliarder dari bisnis kopi juga, setidaknya kalau
melihat mereka deretan merk kopi yang beredar di pasar swalayan---tetapi
jika terbukti kita tidak menguasai perbincangan, itu hanya bearti kita tidak
menguasai media. Memang benar, di berbagai warung di Pulau Jawa, kita akan
mendapat ‘kopi jagung’ yang ajaib, yang disuguhkan dalam gelar besar, begitu
besar, seolah-olah kita sangat kehausan dan baru keluar dari padang pasir.
Namun tak jarang kita bertemu pengadon kopi yang piawai. Tentu tanpa cangkir
yang eksotik, dan gelasnya mungkin ber-merk bumbu masak. Justru itulah yang
kita miliki: kemampuan mengemas.
Homo Jakartensis baru sudi menyeruput
kopi Indonesia dengan harga berkali-kali lipat melalui kemasan Amerika. Di
Starbucks, kopi memang disuguhkan dengan enrichment. Mulai dari display berbagai jenis kopi sampai
brosur tentang kopi yang ensiklopedis. Kopi kini tak lagi menjadi sekedar caffeine, aroma, dan rasa---kopi
telah menjadi makna. Sebetulnya ini tak lebih dari kibul perdagangan dunia.
Selamat!
KOPI
BUKANLAH SEKEDAR KOPI
Seni
kopi telah berkembang, hal itu bisa dilihat dari pilihan menu di “kafe kopi”
yang tentu bukan Cuma kopi tubruk. Mulai dari coffe latte, dari cappuccino sampai
espresso, dari coffe noir sampai kopi luwak, semuat itu menunjukan terdapatnya the art of coffe---sebagai bagian
juga dari the science of coffee.
Adalah ilmu kopi yang menggembangkan seni kopi, setidaknya bagi saya,
pengetahuan atas riwayat suatu kopi memberi nuansa tambahan kepada rasa kopi
itu. Demekianlah the art dan the science melebur dalam the culture. Namun dengan “budaya kopi”,
saya tidak memaksudkannya sebagai duduk-duduk di kafe sambil ngopi, melainkan
berkembangannya the science of coffee dari
sekedar memproses dan mengolah kopi, menjadi perbincangan ilmiah atas kopi----bukan
sebagai tanaman, tetapi sebagai kebudayaan. Artinya, ”kopi” dari kata benda
telah menjadi kata kerja, maksudnya bukan menjadi”ngopi”, melainkan segala
pembermaknaan yang terhubungkan dengan kopi. Ambil contonya laporan The Jakarta
Post edisi 23 Februari lalu. Di bawah judul Coffe
and its effect on culture, a popular topic on college campuses, Murray
Evans dari Associated Press melaporkan berlangsungnya diskusi “The Café and
Public Life” di Centre College, Dallas, Kentucky, yang memperdebatkan kopi
sebagai bagian dari (citra) kelas. Tesis diskusi itu, kopi bukan sekedar
minuman, karena konsumsinya telah mengubah masyarakat dari abad ke abad. Topik
ini mungkin tampak aneh, tetapi justru menunjukan eksitensi kopi, bahwa makna
kehadirannya bisa dibongkar dalam perbincangan yang serius dan berbobot.
Betapapun,
coffee house sudah hadir semenjak
abad ke-17 di Eropa. Tentu ini memancing studi dengan pendekatannya
pascakolonial. Apa yang tampak sebagai tanaman, telah membentuk jalannya
sejarah: bukankah belanda menjajah (dan memeras) penduduk Nusantara melulu
karena rempah-rempah, tembakau, dan segala macamnnya? Kopi jelas juga menjadi
bagian dari tersusunya kontruksi sejarah: bahwa ada manusia yang memperbudak
manusia lain supaya bisa menjual biji kopi dengan keuntungan yang berlimpah.
Dalam proses yang semula dianggap hanya merupakan sejarah perdagangan,
sebetulnya tersusun sejarah kebudayaan. Tepatnya, factor ekonomi menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari studi kebudayaan, karena terbentuk dan
terkemnbangkan oleh faktor ekonomi yang paling vital, yakni distribusi. Jadi,
kebudayaan itu bukan Cuma “pameran lukisan”; ngopi itu juga kebudayaan, karena
di sana bukan cuma ada perkara selera, melainkan juga soal pilihan tempat citra
diri. Masalhnya repotnya orang bercitra diri ria dengan pilihan tempat ngopi
mungkin bukan urusan kita, tetapi tetap saja menarik bahwa apapun yang
terhubungkan dengan kehendak bisa dibaca secara ideologis.
Kopi
tak lagi bermain di atas kompor, kopi telah merangsek ke ruang public dan
mendapat konteks intelektual. Bukankah kata café
memang terhubungkan dengan coffee? Dalam
Evans di atas, disebutkan bahwa Emory University di Atlanta, University of Washington, dan University of California telah menyelenggarakan berbagai
mata kuliah dalam konteks itu, dengan para professor yang berlatar belakang
dari kimia sampai antropologi dan sejerah. Di kafe, demokrtisasi dan
dirstribusi pngatuhan sedikit banyak lebih terjamin kemerataannya, mengingat
campur aduknya pengunjung, dari yang akademis sampai non-akademis. Yang saya
maksud tentu bukan diskusi sebagau gaya untuk mengangkat “derajat”kafe,
melainkan bahwa secara nonformal hal itu sudah berlangsung tanpa label diskusi.
Tentu
bukan masksus saya agar di kampus-kampus segera berlangsung diskusi tentang
kopi, tetapi laporan tentang kopi dalam kajian ilmiah itu telah membangukan
saya dari “tidur kritis”saya: menyadarkan betapa yang kecil-kecil juga sama
pentingnya dengan yang (tampaknya saja) besar-besar, yang hanya luput karena
suatu kebutaan teoretis (theoretical
blindness) tentang mana yang penting dan tidak penting.

No comments
Post a Comment