Wednesday, 6 January 2016

Kopi






Seno Gumira Ajidarma



Kopi bukan hanya caffeine, kopi telah menjadi makna

Membaca laporan majalah National Georgraphic edisi januari 2005, saya lega. Diakui dalam laporan itu bahwa kopi mengandung Caffeine, yang dengan suatu cara membuat kita addicted alias kecanduan---dan itulah yang membuat kita selalu berkata, “Wah, belum ngopi, nih”, (juga terdapat dalam the dan apalagi minuman “pembangkit energy”) disebutkan pula mengonsumsi kopi dalam batas wajar tidak berbahaya. Dalam hal kopi, sehari 300 miligram caffeine disebut sebagai takaran yang moderat. Dioper kopi, itu berarti satu atau dua cangkir kopi seberat 12 ons, tergantung berapa besar ukuran cangkir kopi anda. Adapun cangkir saya tergolong kecil, karena saya butuh menyeruput setiap kali ngantuk. Jadi, saya timbang bubuk kopi saya pergelas kecil itu, ternyata berat 7 gram. Artinya, jika dalam sehari saya minum empat gelas “kopi kecil” (dari”13kopi Ketjil dan Asap Rokok” dalam keadjaiban di pasar senen karya Misbach Yusa Biran), saya berjarak 2 gram dari batas 300 miligram tersebut. Jadi masih tergolong aman.
            
        Semenjad Starbucks, kopi disebut sebagai “legal drug”. National Geographic bahkan menyebutkan betapa abad modern sebetulnya digerakan oleh kopi, yang bikin orang melek, siang maupun malam, dan menghidupkan kota-kota dunia. Untungnya, manusia bisa menarik diri dengan mudah dari ketagihan kopi ini. Dengan kata lain, tidak seperti narkoba, tak akan ada “sakaw” kopi. Yang ada hanyalah beberapa efek padasaraf selama beberapa hari (withdrawal syndrome), namun kemudian tubuh akan segera menyeimbangkan diri. Perilaku minum kopi telah menggelindingkan sejarah serta memberi bentuk keberlangsungan budaya kita sekarang---yang telah membuat Howard Schultz, penemu Starbucks, bukan hanya bisa membawa usahanya ke posisi fortune 500, melainkan membuat starbucks menjadi ikon global. Dalam konturksi budaya kopi, Indonesia ternyata bicara banyak. Di berbagai kedai Starbucks kota-kota dunia, tertulis dengan kapurdi papan eksotik mereka, betapa kopi Sumatra bukan sekedar sekelas disbanding espresso Brazillia yang terkenal itu. Kalau tertulis neon-sign JAVA, ini tidak selalu terhubungkan dengan computer, melainkan tempat ngopi. Masalahnya, di manakan tempat orang Indonesia?

            Perhatikan kisah ‘kopi luwak’ yang diberitakan The Jakarta Post tanggal 18 Februari 2005: ternyata inilah kopi termahal di dunia, karena hanya biji kopi yang terbungkus faeces (tinja) luwak dianggap sahih sebagai ‘kopi luwak’---jadi bukan sekedar ber-merk Kopi Luwak. Harga bijinya mencapai US$250 per kilo (unroadsted) dan US$600 per kilo (roasted), dan per cangkirnya bisa mencapai US$5. Kita memang bicara tentang dunia kopi internasional, meski kebun penyuplai ‘kopi luwak’ dunia ini hanya ada di Sumatra, tetapi dimiliki Daarhnour dari Belanda, yang mendistribusikannya terutama ke Amerika Serikat, dengan M. P. Mountanos Inc, di Los Angeles, sebagai pelanggan terbesar. Tentu jadi ironis ‘kopi luwak’ yang tulen tak bisa dibeli di Indonesia, karena memang terlalu langka, Seorang pengimpor lain, Lenny Cooper dari LJ CooperCo, juga memburu kopi berkualitas ke Sulawesi selain Sumatra. Sekali lagi, kita seperti tak ada di sana.
            Saya percaya tak kurang banyaknya orang Indonesia menjadi miliarder dari bisnis kopi juga, setidaknya kalau melihat mereka deretan merk kopi yang beredar di pasar swalayan---tetapi jika terbukti kita tidak menguasai perbincangan, itu hanya bearti kita tidak menguasai media. Memang benar, di berbagai warung di Pulau Jawa, kita akan mendapat ‘kopi jagung’ yang ajaib, yang disuguhkan dalam gelar besar, begitu besar, seolah-olah kita sangat kehausan dan baru keluar dari padang pasir. Namun tak jarang kita bertemu pengadon kopi yang piawai. Tentu tanpa cangkir yang eksotik, dan gelasnya mungkin ber-merk bumbu masak. Justru itulah yang kita miliki: kemampuan mengemas.

            Homo Jakartensis baru sudi menyeruput kopi Indonesia dengan harga berkali-kali lipat melalui kemasan Amerika. Di Starbucks, kopi memang disuguhkan dengan enrichment. Mulai dari display berbagai jenis kopi sampai brosur tentang kopi yang ensiklopedis. Kopi kini tak lagi menjadi sekedar caffeine, aroma, dan rasa---kopi telah menjadi makna. Sebetulnya ini tak lebih dari kibul perdagangan dunia. Selamat!

KOPI BUKANLAH SEKEDAR KOPI

Seni kopi telah berkembang, hal itu bisa dilihat dari pilihan menu di “kafe kopi” yang tentu bukan Cuma kopi tubruk. Mulai dari coffe latte, dari cappuccino sampai espresso, dari coffe noir sampai kopi luwak, semuat itu menunjukan terdapatnya the art of coffe---sebagai bagian juga dari the science of coffee. Adalah ilmu kopi yang menggembangkan seni kopi, setidaknya bagi saya, pengetahuan atas riwayat suatu kopi memberi nuansa tambahan kepada rasa kopi itu. Demekianlah the art dan the science melebur dalam the culture. Namun dengan “budaya kopi”, saya tidak memaksudkannya sebagai duduk-duduk di kafe sambil ngopi, melainkan berkembangannya the science of coffee dari sekedar memproses dan mengolah kopi, menjadi perbincangan ilmiah atas kopi----bukan sebagai tanaman, tetapi sebagai kebudayaan. Artinya, ”kopi” dari kata benda telah menjadi kata kerja, maksudnya bukan menjadi”ngopi”, melainkan segala pembermaknaan yang terhubungkan dengan kopi. Ambil contonya laporan The Jakarta Post edisi 23 Februari lalu. Di bawah judul Coffe and its effect on culture, a popular topic on college campuses, Murray Evans dari Associated Press melaporkan berlangsungnya diskusi “The Café and Public Life” di Centre College, Dallas, Kentucky, yang memperdebatkan kopi sebagai bagian dari (citra) kelas. Tesis diskusi itu, kopi bukan sekedar minuman, karena konsumsinya telah mengubah masyarakat dari abad ke abad. Topik ini mungkin tampak aneh, tetapi justru menunjukan eksitensi kopi, bahwa makna kehadirannya bisa dibongkar dalam perbincangan yang serius dan berbobot.

Betapapun, coffee house sudah hadir semenjak abad ke-17 di Eropa. Tentu ini memancing studi dengan pendekatannya pascakolonial. Apa yang tampak sebagai tanaman, telah membentuk jalannya sejarah: bukankah belanda menjajah (dan memeras) penduduk Nusantara melulu karena rempah-rempah, tembakau, dan segala macamnnya? Kopi jelas juga menjadi bagian dari tersusunya kontruksi sejarah: bahwa ada manusia yang memperbudak manusia lain supaya bisa menjual biji kopi dengan keuntungan yang berlimpah. Dalam proses yang semula dianggap hanya merupakan sejarah perdagangan, sebetulnya tersusun sejarah kebudayaan. Tepatnya, factor ekonomi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari studi kebudayaan, karena terbentuk dan terkemnbangkan oleh faktor ekonomi yang paling vital, yakni distribusi. Jadi, kebudayaan itu bukan Cuma “pameran lukisan”; ngopi itu juga kebudayaan, karena di sana bukan cuma ada perkara selera, melainkan juga soal pilihan tempat citra diri. Masalhnya repotnya orang bercitra diri ria dengan pilihan tempat ngopi mungkin bukan urusan kita, tetapi tetap saja menarik bahwa apapun yang terhubungkan dengan kehendak bisa dibaca secara ideologis.

Kopi tak lagi bermain di atas kompor, kopi telah merangsek ke ruang public dan mendapat konteks intelektual. Bukankah kata café memang terhubungkan dengan coffee? Dalam Evans di atas, disebutkan bahwa Emory University di Atlanta, University of  Washington, dan University of  California telah menyelenggarakan berbagai mata kuliah dalam konteks itu, dengan para professor yang berlatar belakang dari kimia sampai antropologi dan sejerah. Di kafe, demokrtisasi dan dirstribusi pngatuhan sedikit banyak lebih terjamin kemerataannya, mengingat campur aduknya pengunjung, dari yang akademis sampai non-akademis. Yang saya maksud tentu bukan diskusi sebagau gaya untuk mengangkat “derajat”kafe, melainkan bahwa secara nonformal hal itu sudah berlangsung tanpa label diskusi.


Tentu bukan masksus saya agar di kampus-kampus segera berlangsung diskusi tentang kopi, tetapi laporan tentang kopi dalam kajian ilmiah itu telah membangukan saya dari “tidur kritis”saya: menyadarkan betapa yang kecil-kecil juga sama pentingnya dengan yang (tampaknya saja) besar-besar, yang hanya luput karena suatu kebutaan teoretis (theoretical blindness) tentang mana yang penting dan tidak penting.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes