Wednesday, 4 November 2015

Pria yang tenggelam di mimpinya



Kau terlihat tidak baik, dengan kondisi tubuh seperti itu, lihat cara Jalanmu saja tidak benar ke kanan dan ke kiri, hampir saja dirimu menabrak meja kecilku. Apa yang sedang kau pikirkan? Lihat bibirmu terlihat pucat, kantung matamu berubah menjadi hitam dan matamu mulai memerah. “Urus saja dirimu sendiri!” seru pria itu, sambil duduk di meja dekat jendela.
Diriku masih memperhatikan pria itu, khawatir terjadi apaapa. Aku tak mau, ka-feku menjadi tempat meninggal. Di sini bukan tempat para roh-roh, kafe ini tempat menghibur diri akan kota yang tergesa-gesa dan kejam. Aku masih melihat pria itu sempoyongan ke kanan ke-kiri, dan akhirnya terjatuh kepermukaan meja. “brukk” dentuman keras terdengar hingga ke seluruh ruangan kafe. Pria itu mulai menggaruk-garuk kepalanya, salah satu tangannya mengepal, membentuk seperti mau menonjok, lalu memukul-mukul meja. Aku biarkan saja pria itu mau berbuat apa, asalakan pria itu tidak merusak perabotan kafe. Matahari di luar tidak terlalu menyengat. Pria itu tertidur.
Gedung gedung tidak lagi berbentuk persegi dan memanjang ke langit. Gedung di seluruh kota ini tidak wajar, ada yang berbentuk lingkaran dan menggantung di udara dengan balon-balon berwarna kelabu. Aku berjalan. Mendekati sebuah kafe yang di dalamnya berisikan manusia berkepala kucing. Kulihat bayangan dikaca, kepalaku menjadi kucing-sama seperti mereka. Aku masuk. Banyak sekali kucing-kucing, aku salah satu seperti mereka. Aku hafal betul dengan suasana kafe ini. Kupandangi seluruh ruangan, banyak sekali foto-foto manusia berkepala kucing menggantung rapih di tembok tembok. Aku memilih meja yang menghadap jendela agar aku bisa melihat suasana kota kucing.
Aku tak berani membangunkannya. Barangkali ia butuh waktu tidur lebih lama. Bulan sudah menyirami cahaya di kepala orang-orang yang terlihat cemas. Sedangkan pria itu masih terlelap pada mimpi-mimpinya yang indah. Pasti di sana, pria itu bahagia. Lembar demi lembar novel yang sedang ku baca, sesekali aku mengintip ke arahnya. Pria itu masih terlelap. Ku kunci pintu dapur dan pintu utama lalu menutup kaca-kaca dengan korden berwarna hitam. Dan yang tersisa Aku dan pria itu, yang masih terlelap.
Pelayan menghampiriku dengan clemek di bahunya dan buku kecil, pulpen di tangannya. Aku tersenyum kepadanya. “Kucing yang manis,” dalam batinku. Aku terpanah dengan bulat mata yang biru. “Saya pesan roti bakar dan secangkir kopi.” Kucing betina ini mencatat pesananku di buku yang dibawanya. “Jangan lupa kopinya, ditambahin sedikit susu kental.”
Waktu di sini lebih lama dari waktu di jam tanganku. Mobil-mobil berbentuk aneh, lulu-lalang di jalan. Kedua telapak tanganku menopang dagu, melihat, kucing-kucing yang berpakaian, berkendara dan saling berbicara. Sudut kafe beberapa kucing bermain alat musik dan menyanyikan lagu-lagu yang belum pernah aku dengar. Pesananku tiba. Aku membenahi letak duduk. Kulihat matanya yang biru serupa pantai dan aku tenggelam di dalamnya. “silahkan dinikamti”. Aku semakin tenggelam. Aku binggung dengan para kucing-kucing ini, dengan waktu yang sangat panjang, apakah seluruh waktunya dihabiskan di cafe untuk bersantai.
Aku sudah terduduk di sini selama sepuluh jam, lalu kucing-kucing ini masih saja bersantai menghibur diri. Tidak ada kucing yang keluar-masuk kafe. Barangkali aku kucing terakhir. Setelah matahari tenggelam. Kucing-kucing ini bergegas pulang. Sekejap hening. Tinggal aku dan kucing bermata biru yang berada di kafe. Aku tidak melihat adanya bulan, hanya saja ribuan bintang berwarna kuning menyala. Tiba-tiba saja aku mengantuk.
Kuambil selimut dari dalam gudang, beranjak mendekati pria itu dan menyelimuti tubuhnya. Kudengar suara na-pasnya yang lembut, membuatku mengingatkan akan ayah yang baik. Pasti anak dan istrinya merasa sangat cemas. Sama seperti yang aku rasakan saat ayah berpulang ke sorga.
Aku tak ingin tidur malam ini, karena esok harinya, berencana tidak membuka kafe ini. Ingin kuselsaikan kegiatan membacaku hingga subuh tiba. Siaran radio sudah memilih tidur, hewan-hewan beranjak ke sarangnya, memeluk anak-anaknya dan menceritakan petualangannya. Pria itu masih tertidur tanpa sedikitpun merubah posisi tidurnya.
Pria itu terbangun dari mimpinya. Kuhampiri pria itu dengan membawa secangkir teh hangat dan sepotong roti. Masih terlihat cukup jelas garis-garis lelah di matanya.
“Apa yang sedang terjadi padamu?”
                                                                    
Pria ini mulai membenarkan duduknya, lalu tersenyum padaku, dan tidak menceritakan apa-apa.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes