Kau
terlihat tidak baik, dengan kondisi tubuh seperti itu, lihat cara Jalanmu saja
tidak benar ke kanan dan ke kiri, hampir saja dirimu menabrak meja kecilku. Apa
yang sedang kau pikirkan? Lihat bibirmu terlihat pucat, kantung matamu berubah
menjadi hitam dan matamu mulai memerah. “Urus saja dirimu sendiri!” seru pria
itu, sambil duduk di meja dekat jendela.
Diriku masih memperhatikan pria itu,
khawatir terjadi apaapa. Aku tak mau, ka-feku menjadi tempat meninggal. Di sini
bukan tempat para roh-roh, kafe ini tempat menghibur diri akan kota yang
tergesa-gesa dan kejam. Aku masih melihat pria itu sempoyongan ke kanan
ke-kiri, dan akhirnya terjatuh kepermukaan meja. “brukk” dentuman keras
terdengar hingga ke seluruh ruangan kafe. Pria itu mulai menggaruk-garuk kepalanya,
salah satu tangannya mengepal, membentuk seperti mau menonjok, lalu memukul-mukul
meja. Aku biarkan saja pria itu mau berbuat apa, asalakan pria itu tidak
merusak perabotan kafe. Matahari di luar tidak terlalu menyengat. Pria itu
tertidur.
Gedung
gedung tidak lagi berbentuk persegi dan memanjang ke langit. Gedung di seluruh
kota ini tidak wajar, ada yang berbentuk lingkaran dan menggantung di udara
dengan balon-balon berwarna kelabu. Aku berjalan. Mendekati sebuah kafe yang di
dalamnya berisikan manusia berkepala kucing. Kulihat bayangan dikaca, kepalaku
menjadi kucing-sama seperti mereka. Aku masuk. Banyak sekali kucing-kucing, aku
salah satu seperti mereka. Aku hafal betul dengan suasana kafe ini. Kupandangi seluruh
ruangan, banyak sekali foto-foto manusia berkepala kucing menggantung rapih di
tembok tembok. Aku memilih meja yang menghadap jendela agar aku bisa melihat
suasana kota kucing.
Aku
tak berani membangunkannya. Barangkali ia butuh waktu tidur lebih lama. Bulan
sudah menyirami cahaya di kepala orang-orang yang terlihat cemas. Sedangkan
pria itu masih terlelap pada mimpi-mimpinya yang indah. Pasti di sana, pria itu
bahagia. Lembar demi lembar novel yang sedang ku baca, sesekali aku mengintip
ke arahnya. Pria itu masih terlelap. Ku kunci pintu dapur dan pintu utama lalu
menutup kaca-kaca dengan korden berwarna hitam. Dan yang tersisa Aku dan pria
itu, yang masih terlelap.
Pelayan
menghampiriku dengan clemek di bahunya dan buku kecil, pulpen di tangannya. Aku
tersenyum kepadanya. “Kucing yang manis,” dalam batinku. Aku terpanah dengan
bulat mata yang biru. “Saya pesan roti bakar dan secangkir kopi.” Kucing betina
ini mencatat pesananku di buku yang dibawanya. “Jangan lupa kopinya, ditambahin
sedikit susu kental.”
Waktu
di sini lebih lama dari waktu di jam tanganku. Mobil-mobil berbentuk aneh,
lulu-lalang di jalan. Kedua telapak tanganku menopang dagu, melihat,
kucing-kucing yang berpakaian, berkendara dan saling berbicara. Sudut kafe
beberapa kucing bermain alat musik dan menyanyikan lagu-lagu yang belum pernah
aku dengar. Pesananku tiba. Aku membenahi letak duduk. Kulihat matanya yang
biru serupa pantai dan aku tenggelam di dalamnya. “silahkan dinikamti”. Aku
semakin tenggelam. Aku binggung dengan para kucing-kucing ini, dengan waktu
yang sangat panjang, apakah seluruh waktunya dihabiskan di cafe untuk
bersantai.
Aku
sudah terduduk di sini selama sepuluh jam, lalu kucing-kucing ini masih saja
bersantai menghibur diri. Tidak ada kucing yang keluar-masuk kafe. Barangkali
aku kucing terakhir. Setelah matahari tenggelam. Kucing-kucing ini bergegas
pulang. Sekejap hening. Tinggal aku dan kucing bermata biru yang berada di
kafe. Aku tidak melihat adanya bulan, hanya saja ribuan bintang berwarna kuning
menyala. Tiba-tiba saja aku mengantuk.
Kuambil
selimut dari dalam gudang, beranjak mendekati pria itu dan menyelimuti
tubuhnya. Kudengar suara na-pasnya yang lembut, membuatku mengingatkan akan
ayah yang baik. Pasti anak dan istrinya merasa sangat cemas. Sama seperti yang
aku rasakan saat ayah berpulang ke sorga.
Aku
tak ingin tidur malam ini, karena esok harinya, berencana tidak membuka kafe
ini. Ingin kuselsaikan kegiatan membacaku hingga subuh tiba. Siaran radio sudah
memilih tidur, hewan-hewan beranjak ke sarangnya, memeluk anak-anaknya dan
menceritakan petualangannya. Pria itu masih tertidur tanpa sedikitpun merubah
posisi tidurnya.
Pria
itu terbangun dari mimpinya. Kuhampiri pria itu dengan membawa secangkir teh
hangat dan sepotong roti. Masih terlihat cukup jelas garis-garis lelah di
matanya.
“Apa
yang sedang terjadi padamu?”
Pria
ini mulai membenarkan duduknya, lalu tersenyum padaku, dan tidak menceritakan
apa-apa.
No comments
Post a Comment