Yang tak
dipahami kita hanyalah angin
memotong setiap
lembar daun
lalu terjatuh
dipangkuan batu
berulang
kali-
keluar
begitu saja dari
mulutmu
ke mulutku.
langit ke tanah
atau, tanah ke langit
memandangmu tetaplah sama
dari mata turun ke hati.
Waktu kembali menemukan
perasaan, yang kau-
pecahkan semalam.
Saban sore kau
menghitung
banyak angka, kata bapak
;
“Jadilah anak yang pandai berhitung”
namun kau tak
benar-benar
pandai berhitung. Kau
khawatir
akan jari-jarimu yang
tak
sanggup menampung
jumlah
kau bersembunyi di
dalam cerminmu
sebelum angin
menjatuhkan daun
sepotong cahaya yang
menembus masuk itu
-Aku.
Purwokerto, 2015
No comments
Post a Comment