Dua
puluh tahun terkurung di dalam kamar, apa yang kau rasakan? Orang tua macam apa
mengurung anaknya selama itu.
Seluruh
kota sedang turun salju, hampir menutupi separuh jalan juga, atap-atap rumah
dan pohon-pohon cemara yang tetap tegak. Musim dingin banyak orang-orang lebih
memilih menonton televisi dan menghangatkan tubuh dengan api. Dari dalam kamar
aku melihat tiga orang gelandangan, sedang menghangatkan tubuhnya. Orang
pertama, mempunyai badan gempal, di lehernya melilit sebuah syal berwarna
jeruk. Ia selalu menatap langit. Orang kedua dan tiga, sibuk dengan tubuhnya.
Natal tahun ini, natal paling aku benci, seharusnya hikmat dan bahagia. Malah terkurung
di kamar, entah sampai kapan. Kata ibuku aku sedang dikutuk. Sedangkan ayahku
bilang, aku sedang terserang penyakit yang cukup parah. Tanganku meraba seluruh
tubuhku aku tidak merasakan sakit apapun. “Maesy!!, cepat masuk kamarmu,”
teriak ibu dengan wajah menakutkan. Kutatap mata ayahku, ia hanya berkedip dan
merelakan aku masuk. Sebagian hidupku dihabiskan di dalam kamar dan menulis
sajak, membaca buku-buku yang dibelikan ayah, ketika ayah meninggalkanku untuk
selamanya. Aku tak menghadiri ke pemakaman ayahku sendiri, “durhaka sekali
diriku.” Salahkan ibuku yang mengkurungku begitu lama. Pintu ini sudah tertutup
selama dua puluh tahun. Sampai-sampai tubuhku mulai melemah. Aku teringat
lelaki gempal dan kawan kawannya, yang menghangatkan tubuh di tong sampah. Ia
sendiri dan kerempeng, yang kuingat syal di lehernya. Barangkali, usia dan
tahun yang menggrogoti temannya sekaligus badannya. Diriku sendiri sudah mulai
menua, terkurung begitu lama. Semenjak kematian ayah. Ibu meninggalkan rumah
ini tanpa aku, anaknya sendiri. Setiap hari aku bercermin yang menyimpan
senyummku. Setiap malam aku menulis puisi dan sajak dengan khawatir. Pohon-pohon
cemara yang mulai meninggi, menutupi jendela kamarku dan rumput-rumput sudah
melewati pagar rumah. Dalam diriku yang derita, aku mulai khawatir, dengan
terus mencari sesuatu yang dapat merusak engsel pintu. Kudapati sebuah besi
yang sudah patah. kuangkat besi tua itu dan aku pukulkan ke arah engsel pintu,
beberapa kali gagal merusaknya, pukulan terkakhir, “kreek,” pintu terbuka.
Kutatap seluruh ruangan, semua masih sama seperti dahulu. Pelan-pelan kubuka pintu
ruang tamu. Tetangga di depan rumahku, menatapku dengan curiga. Bila saya
mengasih tau, tetap saja mereka tidak akan percaya, akan ceritaku yang
terkurung di dalam kamar begitu lama. Matanya tetap mengawasiku, seperti mata
anjing. Aku tersenyum kepada mereka, sayang sekali mereka tak membalasnya. Duduk
di sofa dan menyalakan api di pembakaran. Kulihat para tetangga, menyalakan
lampu-lampu kecil di setiap sudut rumahnya. Barangkali ini natal. Kulihat bangunan-bangunan
tua dan bulan yang tetap cemas.
“Di
detik itu, aku menemukan
pulang.
Yang
menuju padamu.”
Sajak ini kuberikan, kepada biarawati yang
pernah mengajariku menulis sajak dan berdoa.
No comments
Post a Comment