Tumbuh sebuah bunga
terlahir dari air yang suci. Bunga itu selalu
bersedih tanpa dilukai. Berbulan-bulan kelopak bunga
di matanya
tumbuh subur, cintanya telah dikutuk sendiri
dengan sumpah yang tumbuh di bibirnya.
Lalu bunga menjadi batu yang
menyimpan luka, bunga dan batu akhirnya saling
melepas sumpah dihadapan arus air.
Di atas punggung batu membekas jejak air
batu itu menangis dengan hati-hati
agar tidak terdengar melepas rindu kepada kelopak
bunga
seekor burung gereja melepas sayapnya dan tidak lagi
ingin terbang
habis itu si burung berdiam diri di atas punggung
batu
dan ingin menjadi sebuah batu.
Akhirnya si burung menjadi batu yang diinginkan
Seluruh badanya mengeras tetapi tidak cintanya
Setiap malam cahaya bulan membelah udara
Menyinari kedua punggung batu. Semakin lama
Bunga di samping melepas seluruh kelopak
Ke atas tanah dan memilih mati. Batu yang tidak
membentuk
Ingin meniru bunga dengan melepas sesuatu yang
berharga
Demi ajalnya, “batu berpikir apa yang ingin
dilepaskanya?”
Dalam batinnya hanya ada satu jalan dengan
dipecahkan
Maka hidupnya berakhir, tanpa melepas sesuatu yang
berharga
Batu memilih diam.
Tepat 100 hari burung gereja menjadi batu di atas
punggung batu
Dalam dada kecil-cintanya tetap menyala besar
Ia pernah bertanya kepada ibunya “cit…cit…cit…cit…cit?”
Ibunya menjawab “jadilah batu, dengan menjadi batu
Sesungguhnya kita menjadi paham akan diam. Lihatlah
para dewa yang menjadi batu dan tetap bercerita. Nak,
jadilah
Sebuah batu.” Di hari yang ke 101 burung gereja
kecil itu hancur
Lemah akan hujan dan sinar bulan. Cintanya diambil
malaikat
Dan ditenangkan di balik bulan.
O, bunga
O, burung
Batu akhrinya mati
tenggelam di bawah tanah.
Aku tidak lagi menceritakan apa-apa
Tentang batu yang ingin mati atau
bunga yang melepas kelopak demi ajalnya
Dan, burung yang bercita-cita menjadi batu.
Semenjak semua mati, aku menjadi seekor ikan di arus
air
Yang membelah ingatanmu.
Purwokerto,
2015
No comments
Post a Comment