Thursday, 24 April 2014

Sedang cantik-cantiknya



Embun yang membasahi jendela kamar. menebarkan bau basah sampai ujung hidung. tanganku terasa dingin mengahapus embun seperti halnya aku berdoa ketika sepertiga malam membahas sebuah perasaan kepada Tuhan. Roti isi kacang dan segelas susu hangat yang aku letakan diatas meja, aku tak merasa asing ketika pagi menjelang. Ponsel yang sedari tadi hening sesekali aku usap layar yang mengembun  bekas jariku tergambar pada layar, pesan singkat darimu tak kunjung hadir. Aku tau, sepagi ini kau sedang melihat acara televisi kesukaanmu. Disampingnya terdapat roti cokelat dan segelas susu hangat yang sama sepertiku. Aku tau, nanti pukul 07.00 pagi kau akan mengucap pagi untuk-ku. 

Ponselku berdering dan aku tau itu pesan darimu. 

Rintik-rintik hujan masih membasahi daun jendela, bulir-bulir air menempel erat di tiap kaca. Pesan singkat darimu ialah kenikmatan pagi. angin yang dibuat kipas angin mendinginkan kamar dengan aroma jeruk. Foto kekasihku yang menempel di sebuah pigura yang aku taruh diatas meja belajarku, nampak anggun apalagi garis bibirnya yang sering aku puisikan setiap malam. dinding-dinding kamar berisikan beberapa puisi tentang kekasihku bernama dinda.


Sepagi ini aku mulai mempuisikan sebuah pagi dan merangkum sebuah sayang. komputer yang sudah menyala redup dari kemarin malam, aku nyalakan sebuah lagu-lagu sendu dari beberapa musisi luar negeri. Alphabet yang berjejer rapih dalam susunan qwerty, aku siap puisikan pagi dan merangkum sebuah sayang. ponselku kembali berdering aku lihat dari layar ponsel muncul sebuah nama yang tak asing, dinda. 

Assalam’mualaikum.

Aku mendengar suara seorang wanita dari seberang sana begitu merdu, aku sangat menyukainya. komputer yang sedari dari tadi menyala kembali mati, obrolan-obrolan ini yang aku tunggu karena dinda adalah wanita tersibuk, menurutku. Aku bisa mencium harum rambutmu yang menghitam walau kita terpisah jarak yang jauh. Diriku tau Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu yang sia-sia. Jarak ia aku mempercayai sebuah jarak karena Tuhan menciptakan sebuah rindu, rindu yang begitu runcing dan terkadang membunuh.

Dinda dari ujung sana menceritakan semua kegaiatan kerjanya. Aku disini menjadi seorang pendengar yang menikmati seperti anak kecil yang sedang bercerita film  kartun yang mereka sukain. Satu jam lamanya dinda berceloteh ria, aku sekali lagi menikmatinya dari ujung yang begitu jauh. Tadinya gerimis mulai menjelma hujan yang begitu lebat semua yang kering menjadi basah. diujung percakapan kita berpisah sementara.

Ponselku kembali berdering kali ini pesan BBM dari dinda, berisikan selamat pagi yang telat. komputer kembali aku nyalakan dan lagu-lagu dari The beatles aku kumandangkan, supaya hujan serasa hikmat. Beberapa pesan baru yang terlihat di notifikasi e-mail. Aku scroll dari atas kebawah. Semua pesan e-mail tak begitu penting.

Diriku mulai bersiap-siap pergi, kemeja merah marun aku kenakan hari ini. dengan rambut yang begitu rapih, aroma parfum lelaki tercium dari tubuhku. Aku mengirim sebuah pesan singkat ke dinda.

 Aku berangkat kerja dulu sayang.

Laju sepeda motorku semakin kencang aroma sehabis hujan begitu khas. Aku kembali mencintaimu. setengah jam perjalanan lamanya. Motorku aku parkirkan dekat sepeda motor seoarang wanita yang aku kagumi. Aku tak mencintainya namun wanita pemilik motor itu berusaha mencintaiku. Tetapi aku memilih satu, satu ialah kekal. Wanita pemilik sepeda motor memang anggun dengan rambut memanjang sebahu dan aroma tubunya begitu nyata. 

Aku sebagai manusia keturunan adam, aku menghargai seorang wanita dengan sebaiknya namun tak lebih.

Ponsel terlihat sebuah pesan dari dinda. Diruang kerja aku memasang sebuah pigura foto yang bergambarkan aku dan dinda sebagai sejarah yang selalu bisa diulang-ulang jika ingin. Karena sebuah foto ialah ingatan yang kekal. Aku mulai berakatifitas sebagai manusia sesunggugnya bekerja dan berusaha. 

Langit sore mulai menyala orange, dari balik jendela kantor aku memandanginya. Kegiatan yang tak pernah aku tinggalkan sebelum aku pulang. senja, aku selalu saja mempuisikanya di atas ponsel. Karena ini langit sedang cantik-cantiknya. Mataku semakin malu memandang senja yang membentang cakrawala. Ponselku berdering panjang aku mengangkatnya 

Senja ini begitu indah dan bukan lagi kehilangan. Dinda esok pulang lalu mataku mulai mempersiapkan sebuah pesta pertemuan. 

Seluruh benda mati yang aku lihat serasa hidup dan bahagia, rasanya juga ingin mengucap selamat padaku. Aku berlari kecil menuju parkiran. Wanita pemilik motor itu sedang menunggu senja juga sama sepertiku. Namun aku abaikan.

Hari yang aku tunggu, telah datang. pada sebuah kafe yang sepi diriku mendapatkan seorang wanita yang sedang duduk manis. Kali ini ia tak mengenakan kacamata yang sering ia kenakan. Rambut yang memanjang kini ia potong sebahu. Kali ini aku dan dinda merayakan sebuah pesta air mata, pertemuan. Kita saling menanyakan kabar pada sebuah mata. 

Disebuah jalan yang panjang aku dan dinda melaju melewati sebuah jalan yang kosong. Sepasang tangan dinda mengeratkan pada perutku. Aku mendengar degub nafasnya yang tersenggal yang mengambil nafas. Lampu jalan semakin dalam di malam hari menuju pagi. 

Pada hari sebuah kepulangan dinda. aku membencinya.

Di malam hari aku melihat sebuah e-mail setelah kepulangan dinda ke Surabaya. Aku membacanya.

Kekasihku, apakah kau tau?  hari ketika saling mengucap sayang di antara kita dan tuhan sebagai saksi. kita tak takut saat mengucap sayang. namun kini hujan ialah perpisahan yang siap membasahi bukit pipimu yang akan kau usap sendiri.
-Dinda-

Aku mencari dinda di facebook mengobrak-abrik seluruh nama untuk mencarimu. Aku tak menemukanmu.

Seminggu kepergian dinda dan aku membencinya.

Wanita pemilik sepeda motor itu aku ajak bicara, Dinda namanya.

Aku bukanlah ponsel yang sering kau genggam setiap waktu
Aku bukanlah novel yang sering kau baca, resapi dan pahami
Aku bukanlah lampu tidur yang ketika malam kau nyalakan dan  kau berdoa sebelumnya

Aku bukanlah jam yang sering melingkar ditangan kirimu, sesekali kau melihatnya
Aku bukanlah langit-langit kamarmu yang sering kau ajak bicara
Aku bukanlah lagu-lagu sendu yang sering kau dengar
Aku bukanlah buku-buku yang sering kau rapatkan
pada dadamu
Aku adalah lelaki yang diam-diam masih mencintai sebuah kepergian.

Kepergian ialah hal yang berpura-puara dan ingin kembali
.
 

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes