Di beranda aku yang masih menulis
sebuah surat untuk kekasihku bernama Akasia. Sudah sekitar satu tahun wanitaku
tak pernah kembali maupun menghubungiku lagi. nomor dua belas angkanya masih
aku simpan pada sim card ponselku, siapa tau kau mengirim pesan singkat padaku?
Dan teranyata aku salah kau tak pernah lagi menghubungiku, dulu kau begitu
mesra mengirim setiap pesan singkat yang kau tulis secara hati-hati untuku,
seperti ini; sayang lagi apa?, sederhana sekali namun aku tau kau begitu
hati-hati menulisnya dan tak ingin terlihat cacat ketika aku membaca pesan
darimu.
Kertas ini semakin penuh saja
dengan coretan-coretan hitam yang ku coret secara sengaja. Aku juga tak ingin
terlihat cacat pada surat yang aku tulis untukmu. Seperti kau menulis sebuah
pesan singkat untuku. Setengah jam telah berlalu surat untukmu telah ku tulis
dengan hati-hati dan tak ingin terlihat cacat di matamu. Langit-langit kamar
terlihat luas, sedangkan dinding kamar temboknya mulai mengelupas. Kipas angin
yang berputar ke kanan, kiri bola mataku selalu mengikutinya. Tak pernah
bosannya aku memutar lagu-lagu sendu yang itu, itu saja.
Suatu pagi yang indah kau
menelponku. Layar ponselku masih mengembun tebal sampai aku harus mengusap
layarnya terlebih dahulu. Terdengar suara seorang wanita yang begitu merdu
sampai aku paham sekali dengan suaranya. Dia menayakan kabar tentangku,
sedangkan aku juga sama bertanya seperti itu padanya. Masih terlalu pagi kau
menelponku nyawa-nyawa dalam tubuhku belum kembali semuanya.
Aku masih memejam namun aku
bahagia. Seperti nahkoda yang kembali dan bertemu keluarganya. Pada hujan yang
membasahi pada bulan april, kau mengirim pesan pendek. Pesan pendek berisikan
sebuah pertemuan yang membuatku mendadak. Aku tau aku mengingkannya dan kamu
juga mengingkannya. Seperti peluk yang membutuhkan dada yang saling menempel
lalu berdebar bersama. kali ini aku begitu wangin dengan rambut yang begitu
rapih kemeja berwarna merah marun. Jam tangan yang melingkar ditangan akan
menjadi sebuah saksi sebagai waktu pertemuan.
Jalannan yang masih basah baunya
begitu khas dan aku menyukainnya. Sepeda motorku aku hantam seluruh genangan
air yang aku lewati. Aku seperti nahkoda yang menyusuri sebuah lautan. Pada tikungan
kedua jalanan begitu ramai lampu lalu lintas menyala merah begitu lama. Rintik mulai
jatuh kembali hujan, aku memacu sepeda motorku begitu kencang. Kaca spion mulai
tertutup gerimis, aku selalu mengelapnya dengan telapak tanganku yang
basah.
Pada sebuah kafe yang kau
janjikan. Aku mencari kau dalam sebuah gelap dengan lampu yang begitu temaram
senja. Mata-mataku tak begitu jelas melihatnya, suara-suara penyanyi kafe yang
terdengar dari kedua telingaku. Dari sudut mata aku melihat kau dan aku berlari
kecil mendatangimu.
Kami saling menatap pada sebuah
temu. mata-mata kita saling berucap, apa kabar? Lilin yang menyala pada meja
yang melingkar, malam ini begitu sakral. Kita akhirnya bertemu lagi akasia. Ada
yang ingin aku bicarakan ke kamu. Aku mencintaimu dan aku kehilanganmu lebih
baik kita berteman tapi mesra. Dan aku menolaknya. Walau aku tau Aku
mencintaimu dan aku kehilanganmu sama sepertimu. Jamuan makan malam itu
serupa debar yang tak kembali debar sabar dan sadar. Aku pulang terlebih dahulu
dari pada kau. Aku mencintaimu kecup pada sebuah kening yang begitu hening. Aku
pulang sampai jumpa kataku.
No comments
Post a Comment