Wednesday, 9 April 2014

aku mencintaimu dan aku kehilanganmu



Di beranda aku yang masih menulis sebuah surat untuk kekasihku bernama Akasia. Sudah sekitar satu tahun wanitaku tak pernah kembali maupun menghubungiku lagi. nomor dua belas angkanya masih aku simpan pada sim card ponselku, siapa tau kau mengirim pesan singkat padaku? Dan teranyata aku salah kau tak pernah lagi menghubungiku, dulu kau begitu mesra mengirim setiap pesan singkat yang kau tulis secara hati-hati untuku, seperti ini; sayang lagi apa?, sederhana sekali namun aku tau kau begitu hati-hati menulisnya dan tak ingin terlihat cacat ketika aku membaca pesan darimu.

Kertas ini semakin penuh saja dengan coretan-coretan hitam yang ku coret secara sengaja. Aku juga tak ingin terlihat cacat pada surat yang aku tulis untukmu. Seperti kau menulis sebuah pesan singkat untuku. Setengah jam telah berlalu surat untukmu telah ku tulis dengan hati-hati dan tak ingin terlihat cacat di matamu. Langit-langit kamar terlihat luas, sedangkan dinding kamar temboknya mulai mengelupas. Kipas angin yang berputar ke kanan, kiri bola mataku selalu mengikutinya. Tak pernah bosannya aku memutar lagu-lagu sendu yang itu, itu saja. 

Suatu pagi yang indah kau menelponku. Layar ponselku masih mengembun tebal sampai aku harus mengusap layarnya terlebih dahulu. Terdengar suara seorang wanita yang begitu merdu sampai aku paham sekali dengan suaranya. Dia menayakan kabar tentangku, sedangkan aku juga sama bertanya seperti itu padanya. Masih terlalu pagi kau menelponku nyawa-nyawa dalam tubuhku belum kembali semuanya.

Aku masih memejam namun aku bahagia. Seperti nahkoda yang kembali dan bertemu keluarganya. Pada hujan yang membasahi pada bulan april, kau mengirim pesan pendek. Pesan pendek berisikan sebuah pertemuan yang membuatku mendadak. Aku tau aku mengingkannya dan kamu juga mengingkannya. Seperti peluk yang membutuhkan dada yang saling menempel lalu berdebar bersama. kali ini aku begitu wangin dengan rambut yang begitu rapih kemeja berwarna merah marun. Jam tangan yang melingkar ditangan akan menjadi sebuah saksi sebagai waktu pertemuan.

Jalannan yang masih basah baunya begitu khas dan aku menyukainnya. Sepeda motorku aku hantam seluruh genangan air yang aku lewati. Aku seperti nahkoda yang menyusuri sebuah lautan. Pada tikungan kedua jalanan begitu ramai lampu lalu lintas menyala merah begitu lama. Rintik mulai jatuh kembali hujan, aku memacu sepeda motorku begitu kencang. Kaca spion mulai tertutup gerimis, aku selalu mengelapnya dengan telapak tanganku yang basah.  

Pada sebuah kafe yang kau janjikan. Aku mencari kau dalam sebuah gelap dengan lampu yang begitu temaram senja. Mata-mataku tak begitu jelas melihatnya, suara-suara penyanyi kafe yang terdengar dari kedua telingaku. Dari sudut mata aku melihat kau dan aku berlari kecil mendatangimu.

Kami saling menatap pada sebuah temu. mata-mata kita saling berucap, apa kabar? Lilin yang menyala pada meja yang melingkar, malam ini begitu sakral. Kita akhirnya bertemu lagi akasia. Ada yang ingin aku bicarakan ke kamu.   Aku mencintaimu dan aku kehilanganmu lebih baik kita berteman tapi mesra. Dan aku menolaknya. Walau aku tau Aku mencintaimu dan aku kehilanganmu sama sepertimu. Jamuan makan malam itu serupa debar yang tak kembali debar sabar dan sadar. Aku pulang terlebih dahulu dari pada kau. Aku mencintaimu kecup pada sebuah kening yang begitu hening. Aku pulang sampai jumpa kataku.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes