Sunday, 4 September 2016

Dalam sebuah cerita-cerita


Terlahir di kamp Nazi yang mempertaruhkan jiwa kepada maut di Auschwitz, Polandia dan satu-satunya keluaraga yang selamat dari kamp tersebut. Lily mendapatkan dirinya terkurung di dalam sebuah ruangan yang berisikan tempat tidur, kursi dan meja kecil. Setiap malam meja, tempat tidur dan meja kecil selalu bercerita kepada Lily, mengenai apa yang terjadi. Si meja bercerita tentang Roberto yang selalu menulis surat untuk selingkuhannya dan akhirnya mati di atas meja tanpa pernah mengirim surat yang ia tulis.

Lily, kursi dan tempat tidur hanya mengembuskan napasnya setelah mendengar akhir yang cukup tragis. Si kursi bercerita tentang seorang wanita yang selalu menunggu kekasihnya, Ia bernama Sophia, berkulit putih kelahiran Rusia. Di tahun 1979, Sophia akhirnya bersumpah kepada dirinya sendiri ia akan rela mati menunggu kekasihnya. Ia akhirnya mati tanpa pernah berdiri. Lalu si tempat tidur bercerita tentang hubungan terlarang. Aku tidak tau nama keduanya, yang kutahu mereka berdua pria dan wanita. Mereka bersenggema di dalam gelap, kurasakan desahannya. Sepanjang malam mereka berdua tidak pernah menyebutkan nama.

Selama bertahun-tahun dengan banyaknya pemerintah di dunia dan media. Seperti yang diketahui warga New York, pada 1 April 1960, Pernah kau membayangkan setelah terbangun dari tidur, alat kelaminmu hilang, atau tiba-tiba setelah terbangun dari tidur, tubuhmu menjadi seekor kucing. Bila perkataan adalah doa, setidaknya apa yang dipikirkan adalah impian. Bila dunia ini mampu menjawabnya, aku tak akan bermimpi dan tak akan tidur. Itu sama saja aku berangan-angan tidak akan bermimpi dan tidak akan tidur. Lebih baik aku bermimpi tentang alat kelaminku yang dihangatkan kelopak bibirmu. Sisa-sisa bibirmu tertinggal di alat kelaminku, juga sisa-sisa alat kelaminku tertinggal di bibirmu.

Entah kenapa aku selalu mencintai alat kelaminku ketika mampu membahagiakan bibirmu. Kutinggalkan Alat kelaminku, sendirian dan kedinginan. Kelaminku ini selalu tegang dan rindu bibirmu. Ketika kau berlibur ke kota yang jauh selama satu bulan, kelaminku selalu merindukan bibirmu. Hingga suatu hari aku bercerita tentang kelaminku yang selalu rindu, kepada temanku bernama Sophia. Dialah yang selalu menenangkan kelaminku, bukan dengan mulutnya atau tanganya, namun dengan senyumnya. Sebulan itu sangat lama bagiku, walau dirimu di sana juga menahan rindu untuk mengulum kelaminku. Bisa saja ia mengulum kelamin milik orang lain, bisa juga ia membayangkan apa yang kubayangkan. Barangkali ia di sana cemburu kepada ratih, karena ratih bisa saja mengulum kelaminku dengan bibirnya yang tebal. Namun aku lelaki setia yang merindukan bibirmu. Menjelang sore, Sophia datang dan tersenyum kepadaku. Ia datang bermaksud ingin berpamitan dan minta doanya, sebab ia akan merantau ke kota sebagai pembantu.
“Sayang, aku pamit dulu” Ia tersenyum.

Aku hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa, kulihat kelaminku kembali tegang, menonjol di hadapannya. Ia tersenyum dan sedikit tertawa. Pelan-pelan ia jongkong di hadapan kelaminku, menurunkan celana kolorku hingga menyentuh lantai, Ia mengulum kelaminku, hingga kembali tidur.

Meja, kursi dan tempat tidur terus bercerita tentang Roberto dan Sophia. Lily tidak pernah mendengar tentang Roberto atau Sophia. Si Meja pernah mendengar kabar Roberto di belahan bumi yang lain dengan nama yang lain, di sana ia bernama Ismail Bakhtiar. Lalu Si Kursi menimpali dengan jawaban, apakah Roberto berada di belahan bumi bagian timur? Si Meja menggoyangkan seluruh bagian tubunya, menandakan tidak tahu.

Manusia saling membunuh sesama, apa yang mereka inginkan dari dunia ini? Kita hidup bersama-sama di bumi ini. Manusia seperti anak kecil yang hanya ingin menang sendiri. Ratusan hingga jutaan manusia yang tak bersalah, tewas di tangan para pembunuh yang mengatasnamakan perdamaian. Sejarah hanyalah pandangan bagi kita agar lebih baik, dan tidak mengulainginya kembali. Namun manusia-manusia ini bisa disamakan dengan hewan ternak, yang tidak bisa berpikir. Mereka hanya dapat diperintah oleh pemiliknya.

Perang ini tak pernah usai, bunyi senjata masih sering terdengar, juga ledakan misil yang masih sering menghantam rumah-rumah para penduduk. Aku sudah kehilangan teman-temanku, kakaku dan kekasihku. Pemerintah masih terus berperang melawan para pasukan anti-pemerintah. Saya selalu berpikir alasan apa yang membuat mereka berperang? Barangkali merekah hanya menginginkan ‘perdamaian’, perdamaian? Mana yang membunuh teman-temanku, juga orang yang tidak tau alasan peperangan ini. Aku masih bersembunyi di dalam banker, menunggu perang ini usai. Lebih baik aku memilih tidur daripada menunggu perang ini usai.

Masjid melepas subuh ke langit bumi, kulihat seluruh bangunan hancur, rata dengan tanah. Aku pernah mendengar cerita tentang kota kelahiranku ini, bahwa kotaku adalah kota pencuri. Ya termasuk saya Ismail Bakhtiar. Memang, dahulu kota ini dijuluki sebagai kota pencuri. Siapa yang datang ke sini akan diculik dan disiksa atau dirampah seluruh bawaanya. Nyawa di kota ini sangatlah murah. Bila tak percaya, aku pernah membunuh seorang ibu dan anak perempuannya. Beliau bernama Andalis Shirin, lalu anak perempuannya bernama Morilla Luice.

            “Jangan ada satu pun yang hidup dari kota yang kotor ini!” teriak para pasukan pemerintah.

Sepuluh tahun yang lalu ayah dan ibuku tinggal di kota ini, tanpa alasan yang jelas kami semua ditendang keluar. Aku pernah bertanya kepada ayah, ‘kenapa kami semua diusir dari kota?’ pertanyaan itu sering aku tanyakan kepada ayah setiap saat. Apa daya ayahku pergi meninggalkan kami semua. Aku dan adikku mulai tumbuh besar, ibuku bekerja sebagai pembantu di rumah paman Abu.

Setiap siang hari aku selalu berkunjung ke perpustakaan untuk membaca atau mendengarkan radio di toko-toko. Setelah aku menginjak umur tujuh belas tahun, aku belum menemukan apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba pasukan pemerintah menyerang kota, aku bersembunyi di dalam meja. Beberapa hari kemudian pemerintah kota Timur melayangkan surat penggusuran pemukiman ini. Para penduduk mengambil sikap untuk melakukan perang terhadap pemerintah dengan nama anti-pemerintahan.

Itu awal kekacauan dimulai, juga pertama kalinya aku membunuh orang. Barangkali kepalaku sudah sakit jiwa akibat kekacauan peperangan ini, Aku membunuh Ibu dan adikku.

Si Tempat tidur kembali bersiap-siap untuk menceritakan Roberto dan Sophia di belahan dunia yang lain.

“Apa yang kau ketahui tentang Roberto dan Sophia, juga tentang pemanasan global yang membuatmu berbicara dengan meja, kursi dan tempat tidur” kata Seekor Cicak.


Setidaknya aku tidak merasa kesepian.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes