Terlahir di kamp Nazi yang mempertaruhkan jiwa
kepada maut di Auschwitz, Polandia dan satu-satunya keluaraga yang selamat dari
kamp tersebut. Lily mendapatkan dirinya terkurung di dalam sebuah ruangan yang
berisikan tempat tidur, kursi dan meja kecil. Setiap malam meja, tempat tidur
dan meja kecil selalu bercerita kepada Lily, mengenai apa yang terjadi. Si meja
bercerita tentang Roberto yang selalu menulis surat untuk selingkuhannya dan
akhirnya mati di atas meja tanpa pernah mengirim surat yang ia tulis.
Lily, kursi dan tempat tidur hanya mengembuskan
napasnya setelah mendengar akhir yang cukup tragis. Si kursi bercerita tentang
seorang wanita yang selalu menunggu kekasihnya, Ia bernama Sophia, berkulit
putih kelahiran Rusia. Di tahun 1979, Sophia akhirnya bersumpah kepada dirinya
sendiri ia akan rela mati menunggu kekasihnya. Ia akhirnya mati tanpa pernah
berdiri. Lalu si tempat tidur bercerita tentang hubungan terlarang. Aku tidak
tau nama keduanya, yang kutahu mereka berdua pria dan wanita. Mereka
bersenggema di dalam gelap, kurasakan desahannya. Sepanjang malam mereka berdua
tidak pernah menyebutkan nama.
Selama bertahun-tahun dengan banyaknya pemerintah di
dunia dan media. Seperti yang diketahui warga New York, pada 1 April 1960, Pernah
kau membayangkan setelah terbangun dari tidur, alat kelaminmu hilang, atau
tiba-tiba setelah terbangun dari tidur, tubuhmu menjadi seekor kucing. Bila
perkataan adalah doa, setidaknya apa yang dipikirkan adalah impian. Bila dunia
ini mampu menjawabnya, aku tak akan bermimpi dan tak akan tidur. Itu sama saja
aku berangan-angan tidak akan bermimpi dan tidak akan tidur. Lebih baik aku
bermimpi tentang alat kelaminku yang dihangatkan kelopak bibirmu. Sisa-sisa
bibirmu tertinggal di alat kelaminku, juga sisa-sisa alat kelaminku tertinggal
di bibirmu.
Entah kenapa aku selalu mencintai alat kelaminku
ketika mampu membahagiakan bibirmu. Kutinggalkan Alat kelaminku, sendirian dan
kedinginan. Kelaminku ini selalu tegang dan rindu bibirmu. Ketika kau berlibur
ke kota yang jauh selama satu bulan, kelaminku selalu merindukan bibirmu.
Hingga suatu hari aku bercerita tentang kelaminku yang selalu rindu, kepada
temanku bernama Sophia. Dialah yang selalu menenangkan kelaminku, bukan dengan
mulutnya atau tanganya, namun dengan senyumnya. Sebulan itu sangat lama bagiku,
walau dirimu di sana juga menahan rindu untuk mengulum kelaminku. Bisa saja ia
mengulum kelamin milik orang lain, bisa juga ia membayangkan apa yang
kubayangkan. Barangkali ia di sana cemburu kepada ratih, karena ratih bisa saja
mengulum kelaminku dengan bibirnya yang tebal. Namun aku lelaki setia yang
merindukan bibirmu. Menjelang sore, Sophia datang dan tersenyum kepadaku. Ia
datang bermaksud ingin berpamitan dan minta doanya, sebab ia akan merantau ke
kota sebagai pembantu.
“Sayang, aku pamit dulu” Ia tersenyum.
Aku hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa,
kulihat kelaminku kembali tegang, menonjol di hadapannya. Ia tersenyum dan
sedikit tertawa. Pelan-pelan ia jongkong di hadapan kelaminku, menurunkan
celana kolorku hingga menyentuh lantai, Ia mengulum kelaminku, hingga kembali
tidur.
Meja, kursi dan tempat tidur terus bercerita tentang
Roberto dan Sophia. Lily tidak pernah mendengar tentang Roberto atau Sophia. Si
Meja pernah mendengar kabar Roberto di belahan bumi yang lain dengan nama yang
lain, di sana ia bernama Ismail Bakhtiar. Lalu Si Kursi menimpali dengan
jawaban, apakah Roberto berada di belahan bumi bagian timur? Si Meja
menggoyangkan seluruh bagian tubunya, menandakan tidak tahu.
Manusia saling membunuh sesama, apa yang mereka
inginkan dari dunia ini? Kita hidup bersama-sama di bumi ini. Manusia seperti
anak kecil yang hanya ingin menang sendiri. Ratusan hingga jutaan manusia yang
tak bersalah, tewas di tangan para pembunuh yang mengatasnamakan perdamaian.
Sejarah hanyalah pandangan bagi kita agar lebih baik, dan tidak mengulainginya
kembali. Namun manusia-manusia ini bisa disamakan dengan hewan ternak, yang
tidak bisa berpikir. Mereka hanya dapat diperintah oleh pemiliknya.
Perang ini tak pernah usai, bunyi senjata masih
sering terdengar, juga ledakan misil yang masih sering menghantam rumah-rumah
para penduduk. Aku sudah kehilangan teman-temanku, kakaku dan kekasihku.
Pemerintah masih terus berperang melawan para pasukan anti-pemerintah. Saya
selalu berpikir alasan apa yang membuat mereka berperang? Barangkali merekah
hanya menginginkan ‘perdamaian’, perdamaian? Mana yang membunuh teman-temanku,
juga orang yang tidak tau alasan peperangan ini. Aku masih bersembunyi di dalam
banker, menunggu perang ini usai. Lebih baik aku memilih tidur daripada
menunggu perang ini usai.
Masjid melepas subuh ke langit bumi, kulihat seluruh
bangunan hancur, rata dengan tanah. Aku pernah mendengar cerita tentang kota
kelahiranku ini, bahwa kotaku adalah kota pencuri. Ya termasuk saya Ismail
Bakhtiar. Memang, dahulu kota ini dijuluki sebagai kota pencuri. Siapa yang
datang ke sini akan diculik dan disiksa atau dirampah seluruh bawaanya. Nyawa
di kota ini sangatlah murah. Bila tak percaya, aku pernah membunuh seorang ibu
dan anak perempuannya. Beliau bernama Andalis Shirin, lalu anak perempuannya
bernama Morilla Luice.
“Jangan
ada satu pun yang hidup dari kota yang kotor ini!” teriak para pasukan
pemerintah.
Sepuluh tahun yang lalu ayah dan ibuku tinggal di
kota ini, tanpa alasan yang jelas kami semua ditendang keluar. Aku pernah
bertanya kepada ayah, ‘kenapa kami semua diusir dari kota?’ pertanyaan itu
sering aku tanyakan kepada ayah setiap saat. Apa daya ayahku pergi meninggalkan
kami semua. Aku dan adikku mulai tumbuh besar, ibuku bekerja sebagai pembantu
di rumah paman Abu.
Setiap siang hari aku selalu berkunjung ke
perpustakaan untuk membaca atau mendengarkan radio di toko-toko. Setelah aku
menginjak umur tujuh belas tahun, aku belum menemukan apa yang sedang terjadi.
Tiba-tiba pasukan pemerintah menyerang kota, aku bersembunyi di dalam meja.
Beberapa hari kemudian pemerintah kota Timur melayangkan surat penggusuran
pemukiman ini. Para penduduk mengambil sikap untuk melakukan perang terhadap
pemerintah dengan nama anti-pemerintahan.
Itu awal kekacauan dimulai, juga pertama kalinya aku
membunuh orang. Barangkali kepalaku sudah sakit jiwa akibat kekacauan
peperangan ini, Aku membunuh Ibu dan adikku.
Si Tempat tidur kembali bersiap-siap untuk
menceritakan Roberto dan Sophia di belahan dunia yang lain.
“Apa yang kau ketahui tentang Roberto dan Sophia,
juga tentang pemanasan global yang membuatmu berbicara dengan meja, kursi dan
tempat tidur” kata Seekor Cicak.
Setidaknya aku tidak merasa kesepian.
No comments
Post a Comment