
Ingatan
bagiku hanyalah kesementaraan, tapi aku masih mengingat kekasihku, ibuku dan
hari pernikahan. Terkadang aku lupa dengan kekasihku sendiri walau hanya
beberapa menit, hanya beberapa menit sama juga membutuhkan detik yang banyak
dan lama. Pernah suatu hari aku melihat kekasihku menangis, tak kuingat sama
sekali, apa yang membuatnya menangis. Saat itu juga kekasihku berbicara
kepadaku, “Apakah kamu akan benar-benar kehilangan ingatnmu?” Ya itu pertama
kali aku divonis penyakit Alzheimer, pertama kalinya iya begitu sangat khawatir hingga
menangis. Semakin ke sini aku hampir melupakan nama-nama orang di sekitarku.
Setiap malam aku mencatat semua nama-nama orang yang dekat denganku, di buku
catatan ; setiap nama kuberikan satu foto bergambar wajahnya, sesuai dengan
namanya. Aku mencatat sebuah alasan, jika aku----saat itu juga tidak
bisa mengingat apa pun, di halaman buku pertama, aku menulis sebuah alamat
rumah, nomor rumah dan wajah ibuku lalu di bagian bawah tertulis SEGERA HUBUNGI
NOMOR INI, PENTING!!. Tetapi aku belum pernah mengalami hal seperti itu,
setidaknya aku mencoba mengkhwatirkan diriku sendiri.
Dokter pernah bilang kepadaku tentang penyakit Alzheimer-ku yang semakin
parah, di satu sisi aku tidak akan pernah membicarakan tentang vonis penyakitku
yang semakin parah kepada kekasihku dan ibuku sendiri. Aku tidak ingin
menyakitinya, itu sangat menyedihkan sekali bagiku. Coba bayangkan kekasihmu
menangis atau ibumu menangis di depanmu, tetapi kau tidak mengenalinya sama
sekali, bagaimana? itu sangat menakutkan. Di dekat jendela aku ingin mengingat
seluruh kenanganku, sebelum benar-benar menghilang dari kepalaku tanpa tersisa.
Hujan semakin rindang menjatuhkan anak-anaknya ke permukaan tanah, lalu menjadi
genangan air yang di mana wajahku bisa berkaca dan tersenyum untuk diriku
sendiri. Tak kubayangkan hari pernikahanku tinggal beberapa hari lagi, dan
ingatanku semakin parah. Kulihat ibu sedang memasak di dapur sambil menangis
tentangku. Aku tidak ingin menggangunya, biarkan ibu menangis sepuasnya.
Kekasihku setiap hari selalu menelpon selama dua jam, waktu yang cukup lama.
Namun aku tak ingin kehilangan waktu bersama kekasihku, selama dua jam aku
membicarakan semua hal apa pun, kecuali penyakit Alzheimer-ku.
Mendung masih
menggantung, sisa-sisa hujan kemarin masih terasa. Seluruh pekerjaanku sudah
kuselsaikan minggu lalu. Seminggu menuju pernikahanku, aku mengundurkan diri
dari kantor tempatku bekerja tanpa berpamitan kepada teman-teman kantor. Aku
bertitip pesan kepada atasanku, bila ada yang bertanya tentang diriku, bilang
saja sedang mengambil cuti. Atasanku tersenyum dan menahan tangisnya, bisa
kulihat dari merah berkaca-kaca di matanya. Data di ponsel genggam kuhapus
semua, kusisahkan beberapa nama yaitu kekasihku dan ibuku. Kekasihku dan aku
sibuk mengambil baju pengantin dan membeli beberapa hal-hal kecil untuk
pernikahan. Ingatanku mulai kacau, orang-orang yang disekitarku mulai kulupakan
satu per satu.
Malam ini aku
benar-benar mencatat seluruh ingatan yang tersisa ke dalam tulisan, sebab
dengan menulis aku akan abadi. Besok hari pernikahanku. Seluruh rumahku ramai
dengan sanak saudara jauh. Pagi masih gelap, kabut masih menggantung di
jalan-jalan. Aku hanya terdiam dan tersenyum, tidak ingin banyak bicara. Aku
tidak ingin menyakitu perasaan ibu di hari pernikahanku. Rumahku sendiri
semakin asing di hadapanku, banyak orang yang tak kukenal. Seorang wanita tua
berusia 35 tahun, menggandeng tanganku menuju sebuah mobil. Kulihat ibu
tersenyum kepadaku. Selama perjalanan entah membawaku ke mana. Banyak orang
berpakaian rapih menuju masjid. Aku segera menjadi seorang suami dan kekasihku
menjadi seorang istri. Kali ini aku mengenali semua orang-orang di sekitarku,
kulihat calon istriku begitu cantik, kebaya yang digunakan begitu indah,
bibirnya selalu terlihat merekah di mataku. Di hadapan penghulu, Aku menjabat
tangannya, saat itu juga aku tidak mengenal siapa pun.
No comments
Post a Comment