Setelah solat ashar puji-pujian berkumandang hingga
terdengar ke dalam rumahku. Sama ketika sehabis solat maghrib puji-pujian
kembali berkumandang. Sang guru ngaji mulai berdongeng tentang sebuah desa, di
mana orang-orangnya adalah pembunuh. Joko saat itu bocah yang nampak serius
hingga tidak mengedipkan matanya. “Kenapa orang-orang di sana disebut pembunuh,
pak guru?” Karena mereka sudah dibodohin, nak Joko. Sang guru ngaji ini tidak
mau disebut atau dipanggil Uztad. Sang guru ngaji ini merasa belum pantas.
Sebab jika dipanggil Uztad memiliki tanggungan yang besar.
Melanjutkan ceritanya. Orang-orang di desa merasa
sudah dihasut oleh isu pembunuhan setiap malam. Malam pertama orang-orang yang
berumur 25 tahun ke atas untuk ikut berjaga-jaga dan berkeliling ke seluruh
desa. Saat itu saya berumur 19 tahun, saya sendiri hanya berdiam diri di dalam
kamar. Sambil mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berjaga, pas melewati
samping kamar. Atau mencari celah untuk melihat keadaan di luar.
Joko masih belum mengubah gaya duduknya. Lantas
teman-temanya pada asik bermain sendiri. Joko selalu melihat gestur gerak
tubuhnya saat bercerita. Terkadang Joko menatap tajam matanya, seakan-akan mata
Sang guru ngaji berbicara kepada mata Joko.
Saya sendiri begitu penasaran akan isu yang
tersebar, sampai-sampai saya ingin benar-benar berada di luar, merasakan
suasana yang mencekam. Saya melihat dari celah dinding yang terbuat dari
anyaman bambu. Saya melihat beberapa orang berdiri tepat di samping rumah,
orang yang mengalungkan sarung di bahunya bernama, Pak Abdul. Lalu orang yang
satunya bernama Pak Bintoro dan satunya saudaranya Bu Lasmi. Ketiga wajah
tersebut begitu khawatir apalagi wajah saudaranya Bu Lasmi yang selalu memeluk
dirinya sendiri. Saat itu keadaan begitu gelap di luar. Saya merasakan suasana
mulai mencekam ketika mendengar suara teriakan di sekitaran arah jalan menuju
sungai. Orang-orang mulai berlari menuju sekitaran sungai.
Joko memotong ceritanya, “Setelah orang-orang
berlari menuju sekitaran sungai, lalu siapa yang berjaga-jaga di desa? Bila
mana semua orang ikut memeriksa.” Saat itu bapak tidak bisa memprediksi apa
yang akan terjadi, nak Joko.” Joko mulai agak penasaran dan tidak penasaran.
Karena Joko tau apa yang akan terjadi. Dari dalam hati Joko, bila mana seluruh
orang berlari menuju sekitaran sungai? Apakah di sungai akan terjadi
pembunuhan? Yang dipikiran Joko hanyalah sebuah jebakan. Joko tertawa sendiri
apa yang dipikirkannya. “Ada apa yang nak Joko tertawa sendiri?” “Tidak Pak,
ini hanya lucu saja. Apa yang aku pikirkan.” Sang guru ngaji hanya
mengeleng-gelengkan kepalanya.
Teriakan di sungai membuat orang-orang berlari-lari
segera menuju sungai. Saya melihat semua orang yang berjaga meninggalkan
siskamling. Beberapa menit setelah semua orang menuju sungai. Ada beberapa
orang menggunakan penutup wajah berwarna hitam melintas di samping rumahku,
memang di samping rumah ada sebuah jalan kecil yang terhubung menuju sungai dan
sawah. Ketiga orang ini bertubuh gempal dan agak kesulitan jalan, saya sendiri
tetap melihat gerak-gerik ketiga orang ini di siskampling. Suasana menjadi
gelap, seluruh desa mati listrik untuk beberapa menit. Ketiga orang betubuh
gempal sudah menghilang.
Joko masih mengikuti apa yang diceritakan oleh Sang
guru ngajinya. Joko merasa apa yang diceritakan ini penuh dengan intrik yang
jadul alias ketinggalan zaman dan mudah ditebak. Seperti kisah-kisah di
sinetron.
Di tepian sungai tergeletak Pak Reno tergeletak tak
bernyawa dengan beberapa luka tusuk. Saya memilih untuk tidur, waktu di dinding
menujukan sekitar 01.00 WIB dini hari. Pagi yang sahaja berubah menjadi duka
akan kabar yang tersebar mengenai pembunuhan Pak Reno di tepian sungai. Joko
tidak kaget apa yang akan terjadi di dalam cerita? Beberapa teman-temanya pamit
untuk pulang. Joko masih duduk dengan posisi yang sama dengan memeluk kedua
kakinya.
“Lalu siapa yang membunuh Pak Reno di tepian
sungai?” Joko mencoba bertanya disela-sela cerita. “Apakah kamu tidak curiga
dengan ketiga orang bertubuh gempal itu? Joko.” Tanya Sang Guru. Keadaan
menjadi semakin hening.
Berita kematian Pak Reno menjadi buah bibir
sepanjang hari-hari, kecuali ibu dan ayahku yang selalu diam akan kejadian
kematian Pak Reno. “Pak. Bu. Apa yang terjadi dengan Pak Reno?” “Nak, kau tidak
perlu ikut campur permasalahan ini!” balas ibu. Ayahku yang sedang membaca
koran dan merokok, berbicara kepadaku “Nak, kau tidak perlu ikut campur atau
ingin tahu apa yang terjadi dengan kematian Pak Reno.”
Joko merasa ingin pulang, Joko mengubah gaya
duduknya dan tidak tenang. Kedua matanya selalu mencuri pandang ke arah jam,
sebab malam semakin larut. “Apakah kau ingin segera pulang nak Joko. Apakah kau
tak ingin tahu siapa yang membunuh Pak Reno?” Joko kembali tenang dengan duduknya.
“Lalu siapa yang membunuh Pak Reno?” Joko dengan tidak sabarnya ingin tahu
siapa yang membunuhnya.
Dibalik kabar kematian Pak Reno, telah terjadi
pencurian di desa sebelah. Telah saya putuskan Tiga orang bertubuh gempal itu adalah
pencuri bukan pembunuh Pak Reno. Sore harinya saya selalu terpikir akan isu
pembunuhan, dan kenyataanya terjadi pembunuhan di tepian sungai. Malam ini
orang-orang kembali terjaga hingga matahari menjelang dan tidak terjadi
pembunuhan. Selama satu minggu orang-orang berjaga dan tidak ada pembunuhan
satu pun. Kecual di hari pertama Pak Reno dibunuh.
Satu minggu telah lewat dan isu tersebut sudah
dilupakan. Hanya sekarang orang-orang lebih berjaga ketat akan hal-hal yang
mencurigakan. Akibat isu dan kematian Pak Reno, orang-orang mulai melakukan
fitnah untuk membalas terhadap orang yang tidak disukainya. Dengan prilaku
seperti itu warga desa mulai bermain hakim sendiri, Saya menyaksikan pembakaran
rumah Bu Lasmi saat tengah malam. Kabar yang beredar Bu lasmi melakukan zina
dengan selingkuhannya Pak Anwar. Memang Bu lasmi adalah seorang janda terbilang
masih muda berumuran 30 tahuan. Ternyata pada malam itu adalah Pak Anwar. Bu
lasmi dan Pak Anwar terbakar di dalam. Orang-orang sudah tidak mulai sehat.
Fitnah mulai seperti angin, orang-orang di desa mulai melakukan banyak
aktivitas di dalam rumah daripada di luar rumah.
Joko tetap dengan pertanyaan yang sama “Siapa yang
membunuh Pak Reno? Pak!”
“Sabar. Joko. Cerita ini segera rampung dan sehabis
itu kau boleh pulang.” Sang Guru ngaji tersenyum ke arah Joko.
Pembakaran dan pencurian semakin parah setiap
bulannya. Bisa setiap hari ada saja barang atau ternak yang hilang.
“Pak. Bu. Memang siapa yang membunuh Pak Reno?”
Ayah berdiri dari kursi dan melipat koran yang sedang dibacanya, lalu pergi ke dalam kamar. Beberapa saat
kemudian Ayah membawa sesuatu berupa kain.
“Kemarilah, Nak dan lihatlah ini.” Ayah memerintahku
untuk mendekat ke meja.
Ayah menaruh benda yang ditutup kain berwarna
cokelat di atas meja
“ Silahkan buka jika ingin tahu siapa yang membunuh
Pak Reno?”
Kulihat mata ayah dan ibu menjadi serius dan tajam,
membuatku begitu khawatir dan bertanya-tanya benda apakah yang di balik kain
itu. Kubuka dengan cepat, dan kulihat sebuah Foto Pak Reno bermesraan dengan Bu
Lasmi. Saat itu juga saya masih bertanya-tanya dengan foto ini.
“Lalu?” Tanya saya kepada Ayah.
Kematian Pak Reno bukanlah dibunuh, melainkan
membunuhkan dirinya sendiri di tepian sungai. Karena sebelum isu pembunuhan itu
muncul, isu perselingkuhan Pak Reno dengan Bu lasmi sudah tersebar. Makanya Pak
Reno menyebarkan isu akan terjadi pembunuhan, dan itu pembunuhan untuk dirinya
sendiri.
Joko hanya menganggukan kepalanya ketika sudah
mengetahui penybab kematian Pak Reno.
“ Jadi siapa yang menyebar isu Perselingkuhan Bu lasmi
dan Pak Anwar?” Joko bertanya.
Pertanyaan akhir itu tidak akan pernah dijawab oleh
Sang Guru.
No comments
Post a Comment