Wednesday, 8 June 2016

Pertanyaan yang Tidak Akan Pernah diJawab

Setelah solat ashar puji-pujian berkumandang hingga terdengar ke dalam rumahku. Sama ketika sehabis solat maghrib puji-pujian kembali berkumandang. Sang guru ngaji mulai berdongeng tentang sebuah desa, di mana orang-orangnya adalah pembunuh. Joko saat itu bocah yang nampak serius hingga tidak mengedipkan matanya. “Kenapa orang-orang di sana disebut pembunuh, pak guru?” Karena mereka sudah dibodohin, nak Joko. Sang guru ngaji ini tidak mau disebut atau dipanggil Uztad. Sang guru ngaji ini merasa belum pantas. Sebab jika dipanggil Uztad memiliki tanggungan yang besar.
Melanjutkan ceritanya. Orang-orang di desa merasa sudah dihasut oleh isu pembunuhan setiap malam. Malam pertama orang-orang yang berumur 25 tahun ke atas untuk ikut berjaga-jaga dan berkeliling ke seluruh desa. Saat itu saya berumur 19 tahun, saya sendiri hanya berdiam diri di dalam kamar. Sambil mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berjaga, pas melewati samping kamar. Atau mencari celah untuk melihat keadaan di luar.
Joko masih belum mengubah gaya duduknya. Lantas teman-temanya pada asik bermain sendiri. Joko selalu melihat gestur gerak tubuhnya saat bercerita. Terkadang Joko menatap tajam matanya, seakan-akan mata Sang guru ngaji berbicara kepada mata Joko.
Saya sendiri begitu penasaran akan isu yang tersebar, sampai-sampai saya ingin benar-benar berada di luar, merasakan suasana yang mencekam. Saya melihat dari celah dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Saya melihat beberapa orang berdiri tepat di samping rumah, orang yang mengalungkan sarung di bahunya bernama, Pak Abdul. Lalu orang yang satunya bernama Pak Bintoro dan satunya saudaranya Bu Lasmi. Ketiga wajah tersebut begitu khawatir apalagi wajah saudaranya Bu Lasmi yang selalu memeluk dirinya sendiri. Saat itu keadaan begitu gelap di luar. Saya merasakan suasana mulai mencekam ketika mendengar suara teriakan di sekitaran arah jalan menuju sungai. Orang-orang mulai berlari menuju sekitaran sungai.
Joko memotong ceritanya, “Setelah orang-orang berlari menuju sekitaran sungai, lalu siapa yang berjaga-jaga di desa? Bila mana semua orang ikut memeriksa.” Saat itu bapak tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi, nak Joko.” Joko mulai agak penasaran dan tidak penasaran. Karena Joko tau apa yang akan terjadi. Dari dalam hati Joko, bila mana seluruh orang berlari menuju sekitaran sungai? Apakah di sungai akan terjadi pembunuhan? Yang dipikiran Joko hanyalah sebuah jebakan. Joko tertawa sendiri apa yang dipikirkannya. “Ada apa yang nak Joko tertawa sendiri?” “Tidak Pak, ini hanya lucu saja. Apa yang aku pikirkan.” Sang guru ngaji hanya mengeleng-gelengkan kepalanya.
Teriakan di sungai membuat orang-orang berlari-lari segera menuju sungai. Saya melihat semua orang yang berjaga meninggalkan siskamling. Beberapa menit setelah semua orang menuju sungai. Ada beberapa orang menggunakan penutup wajah berwarna hitam melintas di samping rumahku, memang di samping rumah ada sebuah jalan kecil yang terhubung menuju sungai dan sawah. Ketiga orang ini bertubuh gempal dan agak kesulitan jalan, saya sendiri tetap melihat gerak-gerik ketiga orang ini di siskampling. Suasana menjadi gelap, seluruh desa mati listrik untuk beberapa menit. Ketiga orang betubuh gempal sudah menghilang.
Joko masih mengikuti apa yang diceritakan oleh Sang guru ngajinya. Joko merasa apa yang diceritakan ini penuh dengan intrik yang jadul alias ketinggalan zaman dan mudah ditebak. Seperti kisah-kisah di sinetron.
Di tepian sungai tergeletak Pak Reno tergeletak tak bernyawa dengan beberapa luka tusuk. Saya memilih untuk tidur, waktu di dinding menujukan sekitar 01.00 WIB dini hari. Pagi yang sahaja berubah menjadi duka akan kabar yang tersebar mengenai pembunuhan Pak Reno di tepian sungai. Joko tidak kaget apa yang akan terjadi di dalam cerita? Beberapa teman-temanya pamit untuk pulang. Joko masih duduk dengan posisi yang sama dengan memeluk kedua kakinya.
“Lalu siapa yang membunuh Pak Reno di tepian sungai?” Joko mencoba bertanya disela-sela cerita. “Apakah kamu tidak curiga dengan ketiga orang bertubuh gempal itu? Joko.” Tanya Sang Guru. Keadaan menjadi semakin hening.
Berita kematian Pak Reno menjadi buah bibir sepanjang hari-hari, kecuali ibu dan ayahku yang selalu diam akan kejadian kematian Pak Reno. “Pak. Bu. Apa yang terjadi dengan Pak Reno?” “Nak, kau tidak perlu ikut campur permasalahan ini!” balas ibu. Ayahku yang sedang membaca koran dan merokok, berbicara kepadaku “Nak, kau tidak perlu ikut campur atau ingin tahu apa yang terjadi dengan kematian Pak Reno.”
Joko merasa ingin pulang, Joko mengubah gaya duduknya dan tidak tenang. Kedua matanya selalu mencuri pandang ke arah jam, sebab malam semakin larut. “Apakah kau ingin segera pulang nak Joko. Apakah kau tak ingin tahu siapa yang membunuh Pak Reno?” Joko kembali tenang dengan duduknya. “Lalu siapa yang membunuh Pak Reno?” Joko dengan tidak sabarnya ingin tahu siapa yang membunuhnya.
Dibalik kabar kematian Pak Reno, telah terjadi pencurian di desa sebelah. Telah saya putuskan Tiga orang bertubuh gempal itu adalah pencuri bukan pembunuh Pak Reno. Sore harinya saya selalu terpikir akan isu pembunuhan, dan kenyataanya terjadi pembunuhan di tepian sungai. Malam ini orang-orang kembali terjaga hingga matahari menjelang dan tidak terjadi pembunuhan. Selama satu minggu orang-orang berjaga dan tidak ada pembunuhan satu pun. Kecual di hari pertama Pak Reno dibunuh.
Satu minggu telah lewat dan isu tersebut sudah dilupakan. Hanya sekarang orang-orang lebih berjaga ketat akan hal-hal yang mencurigakan. Akibat isu dan kematian Pak Reno, orang-orang mulai melakukan fitnah untuk membalas terhadap orang yang tidak disukainya. Dengan prilaku seperti itu warga desa mulai bermain hakim sendiri, Saya menyaksikan pembakaran rumah Bu Lasmi saat tengah malam. Kabar yang beredar Bu lasmi melakukan zina dengan selingkuhannya Pak Anwar. Memang Bu lasmi adalah seorang janda terbilang masih muda berumuran 30 tahuan. Ternyata pada malam itu adalah Pak Anwar. Bu lasmi dan Pak Anwar terbakar di dalam. Orang-orang sudah tidak mulai sehat. Fitnah mulai seperti angin, orang-orang di desa mulai melakukan banyak aktivitas di dalam rumah daripada di luar rumah.
Joko tetap dengan pertanyaan yang sama “Siapa yang membunuh Pak Reno? Pak!”
“Sabar. Joko. Cerita ini segera rampung dan sehabis itu kau boleh pulang.” Sang Guru ngaji tersenyum ke arah Joko.
Pembakaran dan pencurian semakin parah setiap bulannya. Bisa setiap hari ada saja barang atau ternak yang hilang.
“Pak. Bu. Memang siapa yang membunuh Pak Reno?”
Ayah berdiri dari kursi dan melipat  koran yang sedang dibacanya,  lalu pergi ke dalam kamar. Beberapa saat kemudian Ayah membawa sesuatu berupa kain.
“Kemarilah, Nak dan lihatlah ini.” Ayah memerintahku untuk mendekat ke meja.
Ayah menaruh benda yang ditutup kain berwarna cokelat di atas meja
“ Silahkan buka jika ingin tahu siapa yang membunuh Pak Reno?”
Kulihat mata ayah dan ibu menjadi serius dan tajam, membuatku begitu khawatir dan bertanya-tanya benda apakah yang di balik kain itu. Kubuka dengan cepat, dan kulihat sebuah Foto Pak Reno bermesraan dengan Bu Lasmi. Saat itu juga saya masih bertanya-tanya dengan foto ini.
“Lalu?” Tanya saya kepada Ayah.
Kematian Pak Reno bukanlah dibunuh, melainkan membunuhkan dirinya sendiri di tepian sungai. Karena sebelum isu pembunuhan itu muncul, isu perselingkuhan Pak Reno dengan Bu lasmi sudah tersebar. Makanya Pak Reno menyebarkan isu akan terjadi pembunuhan, dan itu pembunuhan untuk dirinya sendiri.
Joko hanya menganggukan kepalanya ketika sudah mengetahui penybab kematian Pak Reno.
“ Jadi siapa yang menyebar isu Perselingkuhan Bu lasmi dan Pak Anwar?” Joko bertanya.

Pertanyaan akhir itu tidak akan pernah dijawab oleh Sang Guru.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes