Sunday, 29 May 2016

Joko & Abdul Sang pencerita

Nilai manusia bukan dari bagaimana matinya, melainkan bagaimana iya selama hidup. Joko selalu teringat-ingat dengan kalimat pendek itu yang selalu diputar di radio setiap subuh. Kabut masih menggantung di jalan dan sawah-sawah. Hari ini sekolah diliburkan, pihak kepolisian sedang melalukan pemeriksaan hilangnya beberapa guru dan murid akhir-akhir ini. Joko dan Abdul merencanakan liburan pergi ke hutan di belakang desanya. Rumor hutan itu memiliki kekuatan magis, banyak orang-orang tua di desa hutan itu dihuni mahluk besar yang menakutkan. Jangan pernah sekali-kali memasuki hutan ketika siang hari, banyak sekali hewan-hewan ternak hilang dan tak pernah kembali. Joko dan Abdul merencanakan untuk memasuki hutan angker ketika siang hari. Joko dan Abdul mempersiapkan pisau, tali dan senter di dalam tasnya masing-masing. Joko dan Abdul menunggu siang hari sambil duduk di hilir sungai. Joko memberi pertanyaan kepada Abdul tentang apakah ada manusia di bumi ini yang abadi?. Abdul hanya tertawa apa yang keluar dari mulut Joko, Di dunia ini tidak ada yang abadi, Jok! Kecuali orang-orang yang menggunakan susuk. Bila orang yang menggunakan susuk, katanya sulit mati. Itu dosa, Dul. Sama saja menduakan Gusti Allah.
“Berarti kita berdua dosa dong, Jok?” Tanya Abdul.
“Dosa? Dosa apa, Dul!” Jawab Joko sambil kebingungan.
Masalah hutan yang katanya di dalamnya ada penguhni menakutkan terus larangan masuk ke dalam hutan pada siang hari. Joko hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan Abdul. Makanya kita berdua membuktikan untuk masuk hutan di siang hari. Bila tidak ada yang membuktikan, kita berdua dan warga seluruh desa telah mempercayai adanya setan.
Abdul tiba-tiba menyumpatani Jono menjadi manusia yang abadi. Walau Abdul hanya bercanda, Joko pun hanya tertawa mendengar apa yang diucapkan Abdul. Matahari telah di atas uyeng-uyeng Abdul dan Joko. Mereka berdua menggendong tas yang berisi pisau, tali dan senter. Sepanjang perjalanan menuju pintu masuk hutan, Abdul lebih banyak diam, lain juga dengan Jono yang lebih banyak menyanyi dan bersiual.
“Dul, Bila nanti kita berdua tidak bisa kembali lagi apa kau menyesali perjalanan ini?” Tanya Joko.
“Buat apa menyesali, Jok. Toh kita tidak bisa kembali lagi.” Abdul tersenyum kea rah Joko.
Selama sepuluh menit berjalan mengikuti hilir sungai, akhirnya hutan yang dimaksud sudah terlihat. Mereka berdua mengeluarkan pisau dan senter. Sebelum masuk mereka berdua untuk berdoa sejenak.
“Bismillah”
Joko memimpin berjalanan ini, Abdul tepat di belakang punggung Joko. Hutan terasa dingin dan sejuk. Seluruh hutan rapat dengan pohon bambu dan tanah yang dinjak tertutup daun bambu yang sudah menguning. Jam tangan yang dikenakan Abdul jarum jam berputar terbalik. Matahari berganti bulan. Joko sudah mulai merasakan dingin malam. Abdul melihat cahaya yang sangat aneh di ujung hutan. Joko dan Abdul berjalan sangat cepat. Sesampainya di sana mereka berdua melihat hamparan desa yang sama seperti tempat tinggal Joko dan Abdul. Namun di sini masih subuh. Jam milik abdul menunjukan pukul 04.30 pagi. Mereka berdua untuk segera bersembunyi dan menunggu pagi. Di tengah hutan masih tengah malam. Joko masih bisa melihat bulan dan bintang. Namun di ujung sini matahari hampir terbit. Joko memustuskan untuk berkeliling ke seluruh desa. Sedangkan Abdul masih bersembunyi di semak belukar.
“Dul. Ayo kita mencari tahu desa ini!” Joko.
“Aku wedi, Jok.” Timpal Abdul.
“Tenan koe reb neng kene wae, Dul!” Joko sambil tersenyum.
“Ya. Aku melu” Abdul keluar dari semak belukar.
Joko dan Abdul berjalan berkeliling desa, menyusuri setiap tikungan gang-gang kecil. Joko dan Abdul berpisah dipersimpangan jalanan kecil. Mereka berdua memustuskan berpisah untuk mencari tahu kondisi rumah mereka, walau sesungguhnya bukan rumah mereka berdua. Dalam perjalanan menuju rumah Abdul, Abdul melihat rumah-rumah terlihat kosong dan tidak ada seekor hewan yang melintas atau tertidur di tengah jalan seperti kucing atau pun ayam. Abdul segera mengeluarkan pisau untuk berjaga. Kondisi menuju rumah Joko, Joko melihat banyak sekali kucing di bahu jalan menuju rumahnya. Tiba-tiba awan gelap muncul di atas kepala Joko. Angin bertiup besar dan kucing-kucing menghilang dari bahu jalan. Kabut putih pun menggantung di tengah jalan, menutupi penglihatan Joko. Joko menyalakan senter sebagai penerang jalan. Abdul terus berjalan semakin dalam untuk mencari rumahnya. Abdul melihat sosok seseorang melintas memasuki gang kecil. Abdul segera berlari mengejarnya walau tidak ketemu sosok aneh itu. Tiba-tiba Joko yang lain muncul di hadapan Abdul.
“Jok!” Ucap Abdul.
Namun Joko yang lain ini begitu dingin, mimik wajahnya seperti orang yang sedang sakit. Abdul mulai sedikit curiga. Darah mengalir dari seluruh tubuhnya. Abdul begitu ketakutan melihat tubuh Joko berlumuran darah, leher yang tiba-tiba hampir terputus. Abdul tak bisa berlari atau pun berteriak minta tolong, yang sudah pasti tidak akan ada yang menolongnya. Terbata-bata Joko yang berlumuran darah, seperti ingin menyampaikan sesuatu. Setiap Joko ingin berbicara darah selalu keluar dari mulutnya. Abdul melemparkan pisaunya ke arah Joko. Joko mengambil yang dilemparkan Abdul ke arahnya. Joko menulis sesuatu di atas tanah dengan begitu kesulitan. Sembari Joko menulis di atas tanah, Abdul membaca satu huruf, satu huruf yang ditulis Joko. Joko berhenti dan menjatuhkan pisaunya. Abdul membaca ulang dengan posisi berdiri. SELAMATKAN AKU!.
Di tempat yang lain cahaya senter yang dipegang Joko tidak sanggup menembus kabut. Di dalam kabut terlihar bayangan yang besar dan tinggi. Joko mengambil langkah mundur perlahan, bayangan besar itu semakin maju dan mendekat. Keluarlah sosok Kepala Sekolah, Tarno dari dalam kabut.
“Sedang apa kamu di sini?” Tanya Kepala Sekolah.
“Bapak juga sedang apa di sini?” Timpal Joko.
“Seharusnya kau sudah mati terbunuh Joko kecil, dan kenapa tubuhmu tidak berlumuran darah. Bapak sudah menusukan beberapa puluh kali ke seluruh tubuhmu.”  Ucap Kepala Sekolah.
“Mati terbunuh? Berlumuran darah? Pisau?” Joko melihat ke seluruh tubuhnya sendiri.
“Aku tak akan mati Pak Kepala Sekolah, karena diriku abadi. Aku sudah disumpah Abdul tak akan bisa mati alias abadi!” Joko sambil bergaya menentengkan tanganya ke pinggang.
“Abadi, katamu bocah kecil!” Kepala Sekolah semakin marah lalu mengeluarkan pisau yang bersimbah darah dari balik punggungnya.
Di dalam hatinya sendiri Joko bertanya apakah benar diriku abadi. Sebab Abdul sudah menyumpah diriku susah mati. Waktu masih taman kanak-kanak, Emak pernah bilang kepadaku bahwa setiap ucapan adalah doa. Kepala Sekolah semakin mendekat ke arah Joko.
“Kau akan mati bocah! Seperti beberapa teman-temanmu dan guru-gurumu. Lihatlah pisau ini seharusnya kau sudah mati. Tubuhmu yang paling akhir kubunuh!” Kepala Sekolah semakin mendekat.
“Apakah kau juga membunuh Abdul?” teriak Joko.
“Abdul?”
“Iya, Abdul sahabatku!” jawab Joko.
Walau tahu Abdul tidak menghilang, cuma akal-akalan Joko untuk memperlambat langkah Kepala Sekolah untuk membunuhnya. Joko kembali mengingat apa yang pernah diucapkan Emak, berbohong demi kebaikan itu tidak apa-apa. Lantas apa yang diartikan kalimat pendek yang sering diputar di radio ketika subuh, nilai manusia bukan dari bagaimana matinya, melainkan bagaimana iya selama hidup.
“Pak kepala sekolah! Bila bapak mati, bapak akan meninggalkan apa?” Tanya Joko.
Langkah kepala sekolah berhenti setelah mendengarkan pertanyaan Joko. Bila saya mati. Saya akan meninggalkan dunia dan hidup damai surga.
“Surga? Bila surga tidak enak dan tidak ada? Bagaimana?” Joko mempersulit pertanyaan.
“Surga pasti ada” jawab Kepala Sekolah.
“Kenapa bapak membunuh surga bapak sendiri?” Joko kembali memberi pertanyaan.
“Karena saya ingin hidup sendirian di surga sana” Kepala Sekolah tersenyum.
“Tidak ada surga untuk Kepala Sekolah! Kepala Sekolah macam apa yang sudah membunuh Istrinya sendiri. Bila seperti itu Pak Kepala Sekolah tidak akan bisa merasakan surga dengan damai.” Joko semakin memasang mimik wajah serius.
“Apa yang kau ketahui tentang surga bocah kecil!” Tanya Kepala Sekolah.
“Surga ada dua kata Abdul. Pertama surga setelah kematian. Kedua Surga dunia. Itu yang kuingat apa yang pernah diucapkan oleh Abdul.” Joko menggaruk-garuk rambutnya.
Di waktu yang lain Abdul masih membaca tulisan SELAMATKAN AKU! Yang diakhiri dengan tanda pentung. Walau sejujurnya Abdul tidak begitu paham dengan bahasa Indonesia. Joko yang berlumuran darah begitu khawatir akan keberadaan Joko yang sesungguhnya. Abdul perlahan memulai memahami apa yang harus dilakukan. Abdul segera mengambil pisau yang tergeletak di tanah, segera mencari Joko yang tidak berdarah dan terluka. Ribuan kucing tertidur di tengah jalan dan di bahu jalan, membuat Abdul kebingungan untuk melewatinya. Abdul berhenti berlari dan mengedipkan kedua matanya ke arah mata ribuan kucing. Ribuan kucing membalasnya dengan kedipan mata. Ribuan kucing membuka jalan untuk Abdul. Abdul tiba-tiba teringat acara televisi The Cat From Hell, bila mengedipkan kedua mata ke arah kucing dan kucing membalasnya, kucing mencintai balik. Abdul melihat sosok Joko di sudut jalan ke arah rumahnya.
“Joko!! Cepat lari di situ.” Teriak Abdul.
Joko mencari sumber teriakan dan melihat Abdul yang sedang menarik napas karena kecapaian berlari.
“Pak Kepala Sekolah! Itu bocah yang bernama Abdul. Yang sudah menceritakan tentang kedua surga. Apakah Pak Kepala Sekolah sudah membunuhnya?” Tanya Joko.
Pandangan mata Kepala Sekolah menatap ke arah Abdul yang sedang menarik napas. Abdul menatap pisau yang berlumuran darah.
“Jika Pak Kepala Sekolah belum membunuhnya? Bunuhlah Abdul sekarang juga!” Joko menahan tawa ketika memberi pertanyaan itu.
“Tunggu, Pak Kepala Sekolah. Bila Pak Kepala Sekolah membunuhnya. Berarti tidak ada cerita surga lagi untukku donk.” Joko memanyunkan bibirnya sebagai tanda kesal.
Abdul semakin binggung apa yang dibicarakan oleh Joko dan Kepala Sekolah.
“Abdul!! Bila nanti kau mati dibunuh oleh Pak kepala sekolah yang ini. Apakah kau mau menceritakan surga untuk terakhir kalinya, Dul!!” Teriak Joko dikejahuaan.
“Aku tidak mau mati dibunuh pakai pisau yang sudah berlumuran darah, Aku tidak mau mati terinfeksi penyakit. Aku masih punya banyak cerita tentang surga” Balasan Abdul sambil berteriak girang.
“Bagaimana Pak Kepala Sekolah? Apakah kau ingin membunuhnya atau ingin mendengarkan cerita tentang surga.” Tanya Joko kepada Kepala Sekolah.
“Saya tidak akan membunuhnya. Saya ingin mendengarkan beberapa cerita tentang surga untuk bekal saya nanti. Jawab Kepala sekolah.
“Abdul! Bisakah kau mendekat ke sini lalu menceritakan tentang surga” teriak Joko lagi.
Abdul mendekat ke arah Joko dengan penuh ketakutan. Abdul masih terus menatap pisau yang berlumuran darah.
“Dul! Kau tidak akan dibunuhnya tenang saja” Ucap Joko.
“Segera ceritakan tentang surga.” Tanya Kepala Sekolah.
Surga dibagi menjadi dua perbedaan. Pertama surga setelah kematian. Yang kedua ini hanyalah sebuah anekdot atau ungkapan mengenai surga yang lain. Sepanjang Abdul bercerita mengenai surga. Joko hanya mengangukan kepalanya, karena sudah sering Abdul bercerita seperti ini kepada bocah-bocah yang lain. Pernah Abdul berpura-pura kesurupan di hadapan teman-temanya, kesurupan bocah kecil yang suka dengan permen. Sebelumnya Joko menceritkan cerita seram mengenai Bocah penyuka permen. Demi mendapatkan permen banyak Joko dan Abdul merencanakan aksi kesurupan bocah penyuka permen.
“Bagaimana cara untuk pergi ke surga?” Tanya Kepala Sekolah.
“Pak Kepala Sekolah tidak bisa memilih surga yang kedua, karena bapak sudah membunuh istri bapak sendiri? Ucap Joko.
“Bapak lebih baik menusukan pisau itu ke tubuh bapak sebanyak mungkin” ucap Abdul.
“Mungkin 100 kali tusukan” Timpal Joko.
“Baiklah demi surga saya akan menusukan pisau sebanyak mungkin” Jawab Kepala Sekolah.
Lalu Pak kepala sekolah menusukan pisau ke tubuhnya hingga berdarah dan tak sadarkan diri ketika tusukan yang kelima.
Joko dan Abdul segera pulang dan meninggalkan desa ini. Sebelum keluar dari desa, Abdul melihat Joko yang berlumuran darah tersenyum dan ribuan kucing-kucing menjadi penduduk desa. Abdul melihat penduduk desa tersenyum. Termasuk dirinya yang lain.
“Keluar lebih cepat daripada masuk” Ucap Joko.
“Hahaha….Hahaha….” Abdul hanya tertawa.
Kepala sekolah mengakui tindakannya yang sudah membunuh beberapa guru dan murid. Seminggu kemudian setelah sepulang sekolah, Joko dan Abdul mengumpulkan teman-temannya di lapangan volley, Abdul mulai siap bercerita. Sebelum bercerita Abdul mengajukan beberap judul cerita pertama menganai surga, kedua bercerita kepala sekolah sang pembunuh berdarah dan ketiga Joko berlumuran darah dan ribuan kucing. Joko meminta Abdul menceritkan tentang Surga. Teman-teman yang lain menolaknya.
“Lebih baik bercerita kepala sekolah sang pembunuh berdarah” teriak bocah di barisan tengah.
“Jangan.! Jangan!..Jangan! lebih baik berceritak Joko berlumuran darah dan ribuan kucing” beberapa bocah meminta abdul menceritakan tentang itu.
Abdul mulai bercerita dan Joko mulai menganguk-angukan kepalanya.

Nilai manusia bukan dari bagaimana matinya, melainkan bagaimana iya selama hidup dan bercerita. 

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes