![]() |
Nak, kelak kau jadi seorang pembunuh seperti Ayah.
Membunuh bukan permasalahan dosa, tetapi bagaimana menyalurkan rasa dendam yang
terpendam lama. Hampir sebagian orang memendam rasa sakitnya. Tetapi itu yang
membuat Ayah menjadi pembunuh, membunuh banyak orang termasuk Ibumu, Nak.
Membunuh yang paling berkesan adalah membunuh Ibu di atas ranjang. Laki-laki
tidak boleh menjadi pengecut atau memendam dendamnya. Sakit dibalas sakit,
bagaimana itu caranya. Nak, kau harus membalas dendammu, membalas sakitmu atau
menjadi pengecut. Semua dikehidupan ini sebuah pilihan, bila Kau tidak sanggup
memilih, apa yang ada di dalam dirimu. Biarkan Ayah yang memilihnya. Jadilah
seorang pembunuh, nak. Dendamu akan terbalaskan.
Ayah
menurukan sifat membunuhnya kepadaku, di mana Aku tidak pantas menjadi
pembunuh. Perawakan tubuhku kurus, memiliki kulit putih seperti Ibuku. Bila
kupikirkan Aku lebih pantas menjadi anak manja yang berdiam diri di depan teve.
Setiap malam Ayah selalu datang dalam mimpiku. Menanyakan kapan Kau membunuh
seseorang. Wajah Ayahku berada di mana-mana, sedangkan wajah Ibuku tidak pernah
hadir di dalam mimpiku. Apa mungkin? Ibu tidak merindukanku. Barangkali, Ibu
malu dengan wajahnya. Sampai-sampai Ibu tak pernah berani hadir di mimpiku.
Atau barangkali Ibu menyimpan dendam kepada Ayah. Sebelum Ayah tewas terbunuh
oleh dirinya sendiri, Ayah pernah bercerita kepadaku. Tentang bagaimana cara
membunuh yang baik. Kata Ayah, membunuh bukan permasalahan dosa. Kalimat yang
dilontarkan Ayah, membuat diriku semakin ingin menjadi seorang pembunuh. Lalu
siapkan alat membunuh seperti: Pisau, tongkat pemukul atau pistol. Menurut Ayah,
membunuh menggunakan tongkat pemukul terasa kurang nyaman. Ayah menyarankan
membunuh menggunakan pisau, karena pisau bisa ditemukan di mana saja. Jangan
pernah membunuh dengan pistol, karena akan menaruh banyak curiga.
Sepanjang
malam Aku bekerja sebagai Pembersih di kawasan jalan Sudirman. Ayah tidak
meninggalkan apapun. Ibu hanya meninggalkan aku sendiri di sini. Setiap malam
Aku mengangkut banyak sampah. Keringat selalu tumbuh di tubuhku yang kurus.
Wajah Ayah selalu tumbuh di dalam ingatanku, serta kalimat membunuh bukan
permasalahan dosa. Suatu hari kutemukan sebuah pisau di dalam kantong plastik.
Gagang pisau yang kuat, tubuh pisau yang mengkilap. Rasa membunuhku mulai
hadir. Kuambil pisau itu, lalu kutusuk-tusukan ke dalam kantong yang berisi
banyak macam sampah. Diriku merasa terhibur setelah melakukan itu. Kusimpan
pisau di balik punggung.
Sampai
adzan subuh berkumandang, Aku selalu memperhatikan pisau itu. Terlintas pikiran
kotor dalam diriku. Bagaimana kalo Aku mencoba membunuh, membunuh seseorang.
Aku akan membunuh pemilik kontrakan ini. Yang selalu menghinaku setiap hari.
Jika aku membunuhnya aku akan terbebas dari bayaran tiap bulan. Pelan-pelan Aku
memasuki rumahnya, melalui pintu belakang yang langsung terhubung ke rumah
pemilik kontrakan. Kulihat mereka berdua tertidur lelap. Aku akan membunuh
suaminya terlebih dahulu. Aku tak akan membunuh istrinya, karena ia selalu membuatku
bernafsu melakukan bersetubuh atau onani. Rasanya pisau ini ingin sekali
meminum darah. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, Aku tidak sanggup melihat
apa-apa. Sercecah cahaya terlihat dari kejahuan, dengan pisau yang sudah menusuk
ke dalam perutnya. Tidak kulihat bekas luka, atau pun darah. Apa ini yang
dimaksud membunuh bukan permasalahan dosa. Kulihat wajah istrinya yang berseri
sambil terlelap. Kuplorotkan celanaku, kukeluarkan titiku sambil perlahan
mengocoknya ke atas, ke bawah. Sampai tiba saatnya kusemprotkan ke arah wajahnya.
Segera kurapihkan celanaku dan kusembunyikan tititku.
Sepanjang
subuh Aku tenggelam ke dalam paginya. Hingga siang terdengar ketuk pintu. Mas
Yanto. Bangun, Mas. Segera Aku membukakan pintu, Kulihat wajah istri pemilik
kontrakan yang tadi pagi telah aku nodai. Bapak sudah engga ada, Mas Yanto. Aku
segera membasuh muka dan bergabung ke dalam rumahnya. Selama satu minggu, Aku mengambil
cuti membersihkan jalanan. Dikarenakan membantu yasinan, Meninggalnya Bapak
pemilik kontrakan.
Selama
satu minggu. Aku sudah membunuh seluruh dendamku. Hingga suatu ketika tanpa
sadar, Aku menusukan pisau ke tubuhku hingga berulang kali. Sebelum kematianku
benar-benar tiba. Ayahku hadir di hadapanku. Ayah mengucapkan sesuatu yang
tidak bisa kudengar dengan baik. Kau sudah menjadi pembunuh seperti ayahmu ini.
Dan Kau mati dengan tanganmu sendiri, sebab membunuh bukan permasalahan dosa.
Tetapi dendam yang tak terbalaskan.
No comments
Post a Comment