Sunday, 10 April 2016

Membunuh Bukan Permasalahan Dosa, Tetapi Bagaimana Menyalurkan Rasa Dendam yang Terpendam Lama

roman-stevens.deviantart.com

Nak, kelak kau jadi seorang pembunuh seperti Ayah. Membunuh bukan permasalahan dosa, tetapi bagaimana menyalurkan rasa dendam yang terpendam lama. Hampir sebagian orang memendam rasa sakitnya. Tetapi itu yang membuat Ayah menjadi pembunuh, membunuh banyak orang termasuk Ibumu, Nak. Membunuh yang paling berkesan adalah membunuh Ibu di atas ranjang. Laki-laki tidak boleh menjadi pengecut atau memendam dendamnya. Sakit dibalas sakit, bagaimana itu caranya. Nak, kau harus membalas dendammu, membalas sakitmu atau menjadi pengecut. Semua dikehidupan ini sebuah pilihan, bila Kau tidak sanggup memilih, apa yang ada di dalam dirimu. Biarkan Ayah yang memilihnya. Jadilah seorang pembunuh, nak. Dendamu akan terbalaskan.

            Ayah menurukan sifat membunuhnya kepadaku, di mana Aku tidak pantas menjadi pembunuh. Perawakan tubuhku kurus, memiliki kulit putih seperti Ibuku. Bila kupikirkan Aku lebih pantas menjadi anak manja yang berdiam diri di depan teve. Setiap malam Ayah selalu datang dalam mimpiku. Menanyakan kapan Kau membunuh seseorang. Wajah Ayahku berada di mana-mana, sedangkan wajah Ibuku tidak pernah hadir di dalam mimpiku. Apa mungkin? Ibu tidak merindukanku. Barangkali, Ibu malu dengan wajahnya. Sampai-sampai Ibu tak pernah berani hadir di mimpiku. Atau barangkali Ibu menyimpan dendam kepada Ayah. Sebelum Ayah tewas terbunuh oleh dirinya sendiri, Ayah pernah bercerita kepadaku. Tentang bagaimana cara membunuh yang baik. Kata Ayah, membunuh bukan permasalahan dosa. Kalimat yang dilontarkan Ayah, membuat diriku semakin ingin menjadi seorang pembunuh. Lalu siapkan alat membunuh seperti: Pisau, tongkat pemukul atau pistol. Menurut Ayah, membunuh menggunakan tongkat pemukul terasa kurang nyaman. Ayah menyarankan membunuh menggunakan pisau, karena pisau bisa ditemukan di mana saja. Jangan pernah membunuh dengan pistol, karena akan menaruh banyak curiga.

            Sepanjang malam Aku bekerja sebagai Pembersih di kawasan jalan Sudirman. Ayah tidak meninggalkan apapun. Ibu hanya meninggalkan aku sendiri di sini. Setiap malam Aku mengangkut banyak sampah. Keringat selalu tumbuh di tubuhku yang kurus. Wajah Ayah selalu tumbuh di dalam ingatanku, serta kalimat membunuh bukan permasalahan dosa. Suatu hari kutemukan sebuah pisau di dalam kantong plastik. Gagang pisau yang kuat, tubuh pisau yang mengkilap. Rasa membunuhku mulai hadir. Kuambil pisau itu, lalu kutusuk-tusukan ke dalam kantong yang berisi banyak macam sampah. Diriku merasa terhibur setelah melakukan itu. Kusimpan pisau di balik punggung.

            Sampai adzan subuh berkumandang, Aku selalu memperhatikan pisau itu. Terlintas pikiran kotor dalam diriku. Bagaimana kalo Aku mencoba membunuh, membunuh seseorang. Aku akan membunuh pemilik kontrakan ini. Yang selalu menghinaku setiap hari. Jika aku membunuhnya aku akan terbebas dari bayaran tiap bulan. Pelan-pelan Aku memasuki rumahnya, melalui pintu belakang yang langsung terhubung ke rumah pemilik kontrakan. Kulihat mereka berdua tertidur lelap. Aku akan membunuh suaminya terlebih dahulu. Aku tak akan membunuh istrinya, karena ia selalu membuatku bernafsu melakukan bersetubuh atau onani. Rasanya pisau ini ingin sekali meminum darah. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap, Aku tidak sanggup melihat apa-apa. Sercecah cahaya terlihat dari kejahuan, dengan pisau yang sudah menusuk ke dalam perutnya. Tidak kulihat bekas luka, atau pun darah. Apa ini yang dimaksud membunuh bukan permasalahan dosa. Kulihat wajah istrinya yang berseri sambil terlelap. Kuplorotkan celanaku, kukeluarkan titiku sambil perlahan mengocoknya ke atas, ke bawah. Sampai tiba saatnya kusemprotkan ke arah wajahnya. Segera kurapihkan celanaku dan kusembunyikan tititku.

            Sepanjang subuh Aku tenggelam ke dalam paginya. Hingga siang terdengar ketuk pintu. Mas Yanto. Bangun, Mas. Segera Aku membukakan pintu, Kulihat wajah istri pemilik kontrakan yang tadi pagi telah aku nodai. Bapak sudah engga ada, Mas Yanto. Aku segera membasuh muka dan bergabung ke dalam rumahnya. Selama satu minggu, Aku mengambil cuti membersihkan jalanan. Dikarenakan membantu yasinan, Meninggalnya Bapak pemilik kontrakan.

          Selama satu minggu. Aku sudah membunuh seluruh dendamku. Hingga suatu ketika tanpa sadar, Aku menusukan pisau ke tubuhku hingga berulang kali. Sebelum kematianku benar-benar tiba. Ayahku hadir di hadapanku. Ayah mengucapkan sesuatu yang tidak bisa kudengar dengan baik. Kau sudah menjadi pembunuh seperti ayahmu ini. Dan Kau mati dengan tanganmu sendiri, sebab membunuh bukan permasalahan dosa. Tetapi dendam yang tak terbalaskan.

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes