Tuesday, 29 March 2016

Mencari Kucingnya yang Mati


Telah bersumpah demi langit, akan selalu duduk di bangku ini tanpa pernah beranjak pergi. Memang cinta rela untuk dikorbankan demi apa pun dan kebaikan apa pun termasuk penglihatanku.


Kotaku sedang berulang tahun yang ke- 306, seluruh masyarakat kota mulai berhamburan ke jalan, melihat hiburan tradisional melintasi jalanan yang terbakar matahari. Sebelum perayaan seluruh anggota keluarga di komplek perumahan Asri, berkumpul di rumah Pak RT Kulihat bapak Rizal, bapak Suban dan ibu-ibu yang sedang mempersiapkan hari jadi kota yang ke-306. Setelah berkumpul dengan bapak-bapak, istriku bergabung dengan ibu-ibu. Suasana seperti ini membuatku tak merasa nyaman. Yang kutakuti mata-mata liar dari bapak-bapak di sini, akan memandangi, lekuk tubuh istriku lalu membayangkan bersetubuh dengan istriku. Dapat kulihat gerak-gerik Pak Andi yang memandang pantat istriku. Rasanya ingin segera pergi dari tempat ini. Bukan cuma Pak Andi, namun hampir sebagian bapak-bapak mencuri pandangan ke lekuk tubuh istriku. Kecuali Pak Toto yang tidak bisa melihat tubuh dan wajah istriku. Dengan itu aku tidak pernah berprasangka buruk kepada Pak Toto. Bapak-bapak di sini hanya minum kopi dan membakar rokok, tidak melakukan apa-apa buat acara besok pagi. Punggung dan pantat istriku mengecap daleman, disebabkan keringat. Aku semakin khawatir dengan pemandangan seperti ini, dapat menarik perhatian bapak-bapak.

Semua urusan besok sudah beres, aku dan istriku pamit lebih cepat. Sebab diriku sudah tidak kuat menyaksikan istriku dilihatin oleh para mata bajingan. Rasanya aku ingin mencongkel mata-mata itu. Selama perjalanan menuju rumah istriku selalu menundukan wajah, sebab ia tahu suaminya sedang marah dan akan dihajarnya. Langkahku kuperlebar dan percepat menuju rumah, aku ingin menghukum istriku yang rela menjadi perhatian bapak-bapak bajingan. Kenapa kau pakai baju seperti itu? Sambil menarik lengan baju istriku. Jawaaabbb!!! Jangan Cuma bisa diam dan menangis. Sekarang kau masuk ke dalam kamar dan tidur. Kutenangkan kepalaku dengan meminum kopi dan membakar rokok di ruang tamu. Sepanjang melamun selalu teringat kejadiaan itu, membuatku semakin berpikiran aneh. Rasanya aku ingin benar-benar membunuh istriku dan kuawetkan dengan formalin. Hahahaha. Pikiran macam apa ini, masa istri sendiri ingin kuawetkan, dasar setan, setan Pekok.

Matahari sudah dapat kulihat dari celah kaca. Istriku sudah tak berada di rumah, dikarenakan mengikuti acara hiburan tradisional membawa nama komplek. Entah jadi apa istriku? Di acara hiburan tradisional. Barangkali jadi pengurus makanan kecil dan minuman, mana mungkin istriku jadi penghibur di acara itu. Pikiranku mulai sesat dan buntu, segera menuju ke jalan depan komplek. Seluruh jalanan macet, banyak pedagang asongan dan pedagang kaki lima berserakan. Anak-anak kecil berlari-lari, bunyi suara bakul Es krim. Peserta pertama hadir dari kecamatan Kebondalem, aku sedikit terhibur menyaksikan bapak-bapak menjadi ibu-ibu hamil. Beberapa kecamatan sudah melintas, sekarang tiba giliran dari kecamatan tempat tinggalku, tak kulihat sosok istriku. Akhirnya aku bisa bernapas lega, kulihat istriku sedang menggunakan kebaya, dari atas mobil istriku dan ibu-ibu lainnya berdadah kepada para penonton.kulihat para mata lelaki mencuri pandangan liar kepada lekuk tubuh istriku.

Sore berakhir. Aku sudah bersiap memarahi istriku. Bayangan istriku mencuri masuk lewat jendela, sebelum dirinya benar-benar masuk. Aku sudah bersiap menunggu istriku, kulihat iya menundukan pandangannya. Pasti ia tahu akan kembali dimarahin. “Bagaimana acara tadi? Ramaikah” tanyaku sambil melihat tubuh istriku yang tidak bisa menjawab. Kutarik tangannya menuju ke gudang. Telah kupersiapkan sebuah bangku kayu, tali panjang dan kain hitam. “kau duduk! Di bangku itu” sambil kuikat tangannya ke belakang punggung. Lalu menutup wajahnya dengan kain hitam. Istriku tidak suka banyak bicara, setelah kematian kucing kesayangannya. Entah kenapa aku merasa khawatir dan takut kehilangannya. Aku tak mau membisu karena kehilangannya. Diriku saat ini lebih pencemburu hebat, api di tubuhku telah membara, sering sekali membakar kesadaranku. Lihat! Sendiri, apa yang telah kulakukan kepadanya. Setan telah bersarang di tubuhku.

Selama dua hari, istriku terikat dan terkurung di dalam gudang. Banyak sekali ibu-ibu yang mencari istriku. Aku berbohong kepada ibu-ibu, tukang sayur dan semua orang yang bertanya mengenai istriku dengan mengatakan istriku sedang pergi mencari kucingnya. Sebagian orang merasa curiga dengan ucapanku. Bodohnya, bisa membuat karangan cerita yang tidak masuk akal. Kusalahkan diriku sendiri, sambil meninggalkan semua orang. Setiba di gudang kulepaskan ikatan di tangannya, juga penutup yang menutupi wajahnya. Istriku masih menundukan wajahnya, kusuruh ia pergi mandi.

Semakin hari istriku semakin diam, sedangkan aku semakin tak terkendalikan. Cuaca sedang dingin, aku dan istriku tenggelam di dalam selimut yang sama. Di atas ranjang aku sudah lama tidak bercinta dengan istriku selama 5 bulan setelah kematian kucing kesayangannya. Hujan semakin lebat turun, membasahi seluruh lantai teras depan rumah. Sesuatu yang sudah lama ingin kudengar kembali terdengar kembali, namun sedikit bergetar ketakutan.  Sayang, bolehkah aku mencari kucingku yang mati? Tanya istriku dengan bibir gemetar. Bolehlah, sayang jawabku sambil tersenyum. Apakah kau tidak cemburu bila tubuhku dilihat banyak orang? Apalagi Pak Andi yang selalu nafsu melihatku. Ia bertanya seperti itu kepadaku. Pastilah membuat diriku semakin resah dan takut kehilangan. Aku tidak menjawab pertanyaan kedua Istriku. Sayang bagaimana kalo kedua matamu kucongkel! Jadi kau tidak akan pernah cemburu dan resah lagi. Tiba-tiba aku terkejut pertanyaan yang menakutkan itu. Bagaimana sayang? Istriku meyakinkanku kembali. Tanpa menjawab apapun, kuanggukan kepala menyetujui pilihan itu. Sebab aku ingin sembuh dari pikiran yang selalu setan ini.

Hujan semakin lebat, menutup semua suara di sekitarnya. Aku tak sanggup mendengar suara istriku sendiri namun ia memerintahkan aku  pergi ke dalam gudang, dan duduk di bangku itu. Tanganku diikat ke belakang punggung juga mulutku disumpal dengan kain penutup. Nampak siluet istriku yang hitam membawa sendok makan sebagai alat untuk mencongkel kedua mataku. Kulihat istriku menjadi iblis yang kutakuti. Bagaimana sudah siap? Untuk malam ini, sayangku. Istriku tersenyum, mengambil ancang-ancang untuk mencongkel mataku. Sayang buka matamu, ini tidak terlalu sakit. Kubuka mataku pelan-pelan, istriku menacapkan ujung sendok ke dalam mata kananku, lalu mencongkelnya. Sama saja seperti mata kiriku.


Aku tidak sanggup melihat istriku, dan tidak lagi terbakar api cemburu. Aku bersumpah dengan diriku sendiri, tidak akan pernah beranjak dari bangku ini, sebelum istriku kembali dari mencari kucingnya yang mati.

1 comment

  1. WOW! Keren sekali tulisan ini, sayang tanda bacanya sangat tidak pas.

    ReplyDelete

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes