Wednesday, 27 May 2015

Pernakah kau ingin mati lebih cepat, ketika dirimu sedang bersedih



Perihal kesedihan di dadamu, perasaan yang berulang kali gagal
kata-kata yang dibuat puisi, menghormati perasaanmu sendiri.
Bendera putih kau kibarkan di atas kepalamu, sebagai kesedihan yang panjang.
Pergelangan tanganmu masih membekas telapak tangan kekasihmu
yang pernah meraba tubuhmu.


walau kau sedang bersedih, bibirmu selalu nampak berkilau,
mengalahkan cahaya lampu motor yang terlihat redup dan tak diterima di lenggang jalan ketika dini hari
barangkali bibirmu sangkar dari anak-anak doa yang tak pernah menetas.

Juga matamu. Jendela dari segala kesedihamu bermulai.
Matamu belajar kesedihan melalui puisi di koran-koran lama
yang dilihat hanyalah api, bersiap membakar seluruh tubuhnya

Rindu hanyalah sekumpulan burung-burung yang meninggalkan anak-anaknya, dengan alasan bekerja di pagi hari.
Juga kereta api yang selalu mempunyai alasan, membawa orang-orang baik
seperti dirimu yang selalu pintar menyembunyikan luka.

Aku senang. kamu tak pernah lupa bagaimana tersenyum
cara bersembunyi paling baik. Apakah kau pernah berpikir?
ingin membunuh dirimu sendiri.

Dengan cara menghintung anak-anak tangga yang sedang kau pijak,
menuju lantai yang paling tinggi
“melompat lalu mati.”

2015

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes