Perihal
kesedihan di dadamu, perasaan yang berulang kali gagal
kata-kata yang
dibuat puisi, menghormati perasaanmu sendiri.
Bendera putih
kau kibarkan di atas kepalamu, sebagai kesedihan yang panjang.
Pergelangan
tanganmu masih membekas telapak tangan kekasihmu
yang pernah
meraba tubuhmu.
walau kau
sedang bersedih, bibirmu selalu nampak berkilau,
mengalahkan
cahaya lampu motor yang terlihat redup dan tak diterima di lenggang jalan
ketika dini hari
barangkali
bibirmu sangkar dari anak-anak doa yang tak pernah menetas.
Juga matamu. Jendela
dari segala kesedihamu bermulai.
Matamu belajar
kesedihan melalui puisi di koran-koran lama
yang dilihat
hanyalah api, bersiap membakar seluruh tubuhnya
Rindu hanyalah
sekumpulan burung-burung yang meninggalkan anak-anaknya, dengan alasan bekerja
di pagi hari.
Juga kereta
api yang selalu mempunyai alasan, membawa orang-orang baik
seperti dirimu
yang selalu pintar menyembunyikan luka.
Aku senang. kamu
tak pernah lupa bagaimana tersenyum
cara
bersembunyi paling baik. Apakah kau pernah berpikir?
ingin membunuh
dirimu sendiri.
Dengan cara
menghintung anak-anak tangga yang sedang kau pijak,
menuju lantai
yang paling tinggi
“melompat lalu
mati.”
2015
No comments
Post a Comment