“Aku
pulang hari ini!” setumpuk kaos, celana panjang dan beberapa sempak dan bra.
Berserakan di atas kasur, koper yang melompong sedari tadi belum terisi pakaian
satupun. Ponsel yang belum teirisi penuh dan masalah-masalah kecil belum usai.
diriku duduk, menatap kearah keluar jendela, menghabiskan sisa waktu untuk beberapa
menit. Aku seharusnya mulai berjalan menuju stasiun kota. Langkahku mulai
terburu-buru, memasukan apapun ke dalam koper, kecuali dirimu.
Sesungguhnya
Aku sedang patah hati. Dinding kamar hotel mulai menertawakanku yang brengsek
ini. Semua pakaian sudah terkemas rapih di dalam koper, sekali lagi dirimu yang
masih berantakan di pikiranku.
***
Kutinggalkan
Kamar hotel dan dirimu. Aku kunci rapat-rapat agar kau tak keluar menyusul
tubuhku yang lagi sakit. ini kenang-kenangan dariku, sebuah bekas tendangan
kakiku di depan pintu kamar, brengsek!. Kulihat
jam tangan yang selalu tepat untukku, secepat-cepatnya aku tak ingin
ketinggalan kereta. Lobby hotel, Mba pegawai yang cantik dengan polesan
lipstick oranye, serasa sedang menggambarkan perasaaanku yang sedang kaya tai. terhenti
di sini untuk mengurus kepulanganku yang terpakasa, kepalaku sedang berbikir
menjadi tiga bagian; Dirimu yang tai, kepulanganku dan kereta api.
Akhirnya
aku terlepas dari suramnya registrasi Hotel, untuk kepulanganku. Bagaimana
caraku pulang? tanpa ketinggalan kereta api. kupaksakan aku mencari kendaraan
yang tepat dan cepat menuju stasiun, membunuh diriku?, menabarkan diriku ke
sebuah mobil? pikiranku mulai rancu. Kendaraan Ibu Kota yang paling melegenda,
kata orang Jakarta. Melintas di depanku. “Bang…Bang…Bang” Bajaipun berhenti
mendadak, segeralah aku meninggalkan hotel.
***
Sepanjang
perjalanan menuju Stasiun Kota, diriku
mulai menggerutu, sang supir Bajaipun merasa kebinggungan. Memang aku sedang
gila untuk hari ini. Aku sudah bisa melihat bangunan tua dan kendaraan umum
lainnya. akhirnya sampai juga!. setelah melalui proses membayar yang cukup
sengit dan lagi-lagi kaya tai kucing. Aku meninggalkan Bajai rongsok itu. Dan
mengejar waktu kepulanganku. Ternyata aku gagal. Tiket kereta api, tertinggal
di kamar hotel. yang sudah aku kutuk. Tai!.
Aku
teringat sebuah sajak yang pernah kau bacakan untukku, sebelum kita bertengkar
besar dan putus.
“di bibirmu,
diriku ingin berguling
lebih lama
bukan sebagai kecupan
ataupun ciuman,
sebab bibirmu menjadikanku
gila.”
Benar
diriku sedang gila, bukan sebagai kecupan
ataupun ciuman. Karenamu aku tak jadi pulang.
No comments
Post a Comment