Thursday, 20 November 2014

Pelukan dan seribu ciuman





Hujan malam ini, Aku dan kekasihku memutuskan untuk bertuduh di sebuah kafe. Kafe ini terlihat sepi namun begitu temaram, dengan lampu lampu menyala oranye. Kali ini aku tak memeluk kekasihku, hanya saja jemari jemari kita berdua saling mengisi di setiap sela selanya. Gerimis hujan, mulai membasahi sudut sudut kafe. Alunan lagu kian syahdu, di semua telinga pengunjung yang tidak terlalu banyak. Aku lalu kekasihku mulai terbawa suasana, hingga kita saling melepaskan. Pipiku dan pipinya mulai menjadi bantal untuk sepasang telapak tanganku dan telapak tangan kekasihku. 

Bibir merahnya mulai cemas, kekasihku mulai melumat lumat bibirnya sendiri beberapa kali. 

“kenapa? Sayang.”

“enggakoh, sayang.”

Tanganku kuulurkan kearah rambutnya, aku sentuh rambutnya. Saya dan Kekasihku menghabiskan beberapa jam di dalam kafe, tanpa berpelukan. Setiap gerimis yang dijatuhkan Tuhan. Supaya Aku memeluknya dengan hangat. Sedangkan diriku saja tak berani untuk memeluknya. Merangkul pundaknya atau melingkarkan kedua lengan tanganku pada pinggul kekasihku saja tak pernah. Bagaimana mungkin saya sebagai lakinya tidak pernah. Aku Naif. Apa mungkin aku lelaki purba, dengan segala keprimitifannya.

“Barangkali pelukan kita akan dituntaskan beserta ciuman ciuman.”

Malam minggu yang tak pernah Aku lupakan. Jemari kekasihku, mulai merambat naik hingga dadaku yang sedikit berbulu ini, membuka satu, dua kancing kemejaku. Semerbak wangi pada tubuhku, mulai tumbuh di hidungmu dan hidungku. Tiba tiba bibir kekasihku mencium bibirku, saat itu juga Aku memeluknya.
Sekarang aku memahami, arti sebuah peluk. Tetapi tidak dengan ciumannya.

TAMAT

2 comments

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes