pelabuhan di matamu
perahu-perahu laju perlahan
riak ombak mulai menghantam kepergiannya
senja yang condong, seakan menghisapmu
pesta kepergianmu, tak lagi membekas
hujan membasuhnya dengan sabar
aku masih hafal, aroma tubuhnya
tubuh yang pernah aku rayakan bersama
terang rembulan
tak lagi aku menjemput senja,
hangat yang ku cari bukanlah engkau
sementara pada matanya, melahirkan air
sebentuk Puisi, aku tulis
di matamu, aku melukis sebuah senja
tak perlu kau kembali, senja itu tertulis
namaku
ketika kau berkedip, puisi lahir di
pipimu
menggaris begitu panjang, hingga jatuh di
buah dadamu.
sementara, rindu dalam ingatanku?
kau hidup disebuah kota dalam dadaku
kupu-kupu yang sering kau tunggangkan
terbang perlahan menuju pikirku.
Paradoks dalam pikir, aku kembali, dan
pulang
kita duduk sejajar saling menyimpulkan
senyum
di pigura tua, kita hidup abadi
kepergianmu bukanlah nyata, hanya
kesementaraan.
No comments
Post a Comment