Sunday, 23 March 2014

Aku Masih Wanitamu dan Seluruh Langit Indrayanti


Pada pernikahanku dengan seorang lelaki bernama Tedy Saputra , tepat pada tanggal 10 febuari  2010, Tedy Saputra mengucap janji  “Saya terima nikahnya, Imaniar Putri Binti Ahmad Santoso dengan seprangkat alat sholat di bayar tunai”. Dengan begitu Tedy Saputra telah resmi menjadi suamiku. 

Pagi pertamaku dengan lelaki yang aku cintai yang kini telah menjadi suamiku, setelah selesai sholat subuh berjama’ah Tedy melanjutkan tidur. Sedangkan aku mulai memasak sarapan kesukaan suamiku dengan langkah yang pelan aku mulai menyiapkan pakaian kerja suamiku. Aku takut menggangu tidurnya. Pukul 05.30 pagi, langit sudah tak menghitam. Fajar sang maha sinar mulai menampakan, Tedy terbangun dari tidurnya Selamat pagi, Putri dengan kecup tepat di dahiku. Tedy menuju kamar mandi, aku menyiapkan sarapan pagi yang aku letakan di meja makan. Ini sarapan pertama dengan suamiku.

Aku sudah siap di meja makan, menunggu suamiku keluar dari kamar tidur. Rambut yang menghitam yang di sisir rapih, kemeja berwarna merah marun dengan dasi hitam. Mataku seolah melihat lelaki lain, dalam kepalaku ini suamiku. Kenapa kamu malah senyum-senyum begitu ada yang salah dengan penampilanku. Engga ada yang salah, jawabku. Secangkir kopi dengan asap yang mengepul ke langit-langit, tedy sabar meniupnya lalu menyeruputnya. Aku hanya tertawa melihat wajahnya yang lucu. Di meja makan kami berdua mulai bercerita-cerita apa saja. Sebelum berangkat Tedy tak lupa mendaratkan kecupan di dahiku, begitu pula aku mencium punggung telapak tangan suamiku. Hati-hati di jalan sayang, lantas suamiku pergi mengendarain sepeda motornya.

Kini aku mulai merapihkan seluruh rumah, menyuci maupun menyapu. Kini aku seorang ibu rumah tangga. Setelah rumah bersih dan beres. diriku mulai mengambil air wudhu, kukenakan mukenah berwarna putih. seselesai sholat dukha, aku melihat sebuah pigura foto yang menempel dinding ruang tamu, bergambarkan aku dan suamiku berserta seluruh keluarga besar. Aku hanya tersenyum dan mengingat waktu tedy mengucapkan ijab qabul.

Ponselku berdering, aku melihat di layar bertuliskan satu pesan baru dari suamiku, 
 “Lagi apa sayang?”.

Dengan begitu aku membalas pesan suamiku,
“Lagi, duduk di ruang tamu sayang, nanti jangan lupa sholat duhur dan jangan lupa makan siang”.

Dua menit kemudian ponselku berdering,
“Baik sayang, sudah dulu ya aku masih banyak kerjaan”.

Pesan dariku teruntuk suamiku,
“Baik Komandan”.

Langit sore mulai habis, aku duduk di depan teras menunggu suamiku pulang. duapuluh menit sebelum adzan maghrib, terdengar suara sepeda motor yang di kendarain suamiku memasuki gerbang. Di tangan kiri suamiku membawa sebuah bungkusan. Senyum suamiku membuat sore ini begitu sempurna. Lalu aku mencium punggung telapak tangan suamiku, Putri aku bawakan martabak cokelat kesukaanmu. Kita makan bersama sehabis sholat maghrib sekaligus makan malam. kamu mandi dulu sana sayang, menunggu suamiku mandi aku menyiapkan makanan di meja makan dan sepiring martabak cokelat yang di bawa suamiku.

Adzan maghrib berkumandang aku dan suamiku melakukan sholat berjamaah, suamiku mengenekan baju kokoh berwarna putih seperti mukenah yang aku kenakan. Wangi tubunya menusuk hidungku. Suamiku memimpin doa sehabis sholat,
Ya Allah, lindungilah keluarga kecilku ini dari marabahaya dan berikan kami keturunan sekaligus rezeki, lalu kami berdua mengaminkan.

Makan malam ini begitu nikmat dan di akhiri dengan menghabiskan sepiring martabak cokelat. Kepalan tangan suamiku adalah tempat yang paling terhangat, mengalahkan selimut di tempat tidur dan pundaknya tempat paling ternyaman, mengalahkan bantal yang empuk ketika aku tertidur.

Aku dan Tedy menghabiskan malam dengan tidur-tiduran di tempat tidur, bercerita semasa-semasa kuliah hingga kita menjadi sepasang suami istri, sampai malam menyelimuti kita berdua hingga pagi menjelang. Hari minggu ini aku dan Tedy ingin berkunjung kerumah orang tuaku, sepanjang jalan, aku melingkarkan tangan di atas perut suamiku hingga sampai rumah kedua orang tuaku. Sesampai di sana kami mengobrol apapun.

Sepulangnya, kami mampir di sebuah danau, tempat di mana Tedy menyatakan perasaannya padaku hingga melamarku untuk menjadi istrinya dan sekarang kita sudah menjadi suami istri. Aku merasa beruntung mempunyai suami sepertinya. Tangan kita mengepal, jalan setepak di danau kita susuri kembali, serasa aku kembali bercerita pada isi kepalaku. Mungkin Tedy juga sepikiran dengan saya. 

Hujan mulai menguyur, aku dan Tedy berlari untuk meneduh, kali ini dua kehangatan aku dapatkan pada kepalan tangan suamiku dan saku jaket suamiku. Setengah jam kemudian hujan mulai reda kami berdua cepat-cepat pulang, rintik-rintik sisah hujan membasahi pakaian kita berdua sedangkan genangan air membasahi sepatu. Hujan ini mengromantiskan aku dengan suamiku. Setidaknya aku bahagia dengan cara sesederhana ini. aku mencintaimu seperti hujan aku ingin membasahimu dan menyegarkanmu.

Dalam perjalanan pulang, aku bisikan sesuatu yang lirih di kuping suamiku walau tertutup helm “Aku Mencintaimu”. suamiku hanya mengangukan kepalanya. Kedua tanganku kembali melingkarkan di atas perut suamiku dan aku merasakan punggung telapak tanganku di usap, beberapa kali. Aku terlelap di punggung suamiku hingga aku tertidur.

Sepeluh bulan pernikahan aku dengan Tedy, kami belum di karuniain seorang anak, aku ataupun Tedy juga ingin mendambakan kehadiran seorang anak. Semua jenis makanan penyubur sudah kami makan dan beberepa gaya berhubungan intim kami praktekan. Tetapi juga belum berhasil, aku tau di dunia ini tidak ada hal yang sia-sia. 

kami membahas sebuah nama buat anak kami kelak, jika nanti anak kami laki-laki aku namakan Natha Artha kusuma. Jika seorang perempuan kami namakan Putri Ayu Kusuma. Setidaknya itu sebuah nama yang indah untuk anak kami kelak.

Aku mencintaimu, kecupan yang mendarat di bibirku dari suamiku.
 
Sepagi ini aku mulai memberesakan rumah, dengan rambut yang sudah memanjang. melihat suamiku yang sedang tertidur pulas dengan brewok dan kumis mulai tumbuh di wajahnya. Kami mulai menua. Pukul delapan pagi kami berdua pergi untuk berkonsultasi ke sebuah rumah sakit, dengan sepeda motor. Pada kecepatan 40km/jam menyusuri jalan yang masih senggang, rumah sakit yang masih nampak sepi. suamiku menuju ruang pendaftaran, sedangkan aku menunggu di ruang tunggu. Sekembalinya suamiku dan menemaniku duduk di ruang tunggu dengan hiburan sebuah acara televisi dengan televisi yang mengantuk di atas. 

Suara suster yang membawa sebuah dorongan yang berisikan obat-obatan untuk para pasien yang aku dengar pagi ini. aku dan suamiku sangat berterima kasih di beri kesehatan. ‘Kita terlalu pagi, sayang’, tanya suamiku. Lebih baik kita kepagian dari pada nanti kita kelamaan menunggu di sini, suamiku. Dokter yang memeriksa kami datang dan para pasien yang lain mulai berdatangan. Aku dan suamiku pasien pertama. 

Seorang suster yang berwajah cantik keluar dari balik pintu, memanggil sebuah nama Bapak Tedy Saputra, silahkan masuk. Lantas kami berdua memasuki sebuah ruang yang dingin namun tak sedingin sebuah kutub, kami menjabat sebuah tangan dan kami mulai berbincang sebuah permasalahan yang kami perbincangkan di atas kasur setiap malam. suamiku di bawa ke sebuah ruang dan di periksa lalu beberapa menit kemudian. aku yang memasuki ruang tersebut yang di masukin suamiku tadi. 

“Baik, bapak dan ibu hasil Test akan kami beritahukan, nanti dan bapak bisa ke sini besok ”, kata seorang suster yang berwajah cantik dengan sebuah nama Ratna Sari yang bertuliskan nama di dadanya. 

Suamiku dan aku mulai meninggalkan rumah sakit, kembali pulang.
Semoga kita baik-baik saja, sayang tidak ada hal buruk. Kami berdua tersenyum. Sehabis itu suamiku kembali ke kantor sedangkan aku beristirahat di kamar. Di dalam hati aku berdoa untuk diriku dan untuk suamiku. Aku mulai mengetik sebuah pesan ke suamiku,
“Sayang, jangan lupa sholat dan makan siang”.

Esok harinya, kami berdua mengambil hasil Test. Serasa menakutkan pintu rumah sakit ini, butiran-butiran keringat membasahi dahi suamiku. Masih seperti kemarin aku meunggu di kursi tunggu dan suamiku pergi menunju ke ruang pendaftaran. Sekembalinya aku mengusap keringat suamiku dengan sapu tangan hadiah di hari ulang tahunku dari suamiku. 

Tenang, sayang semua akan baik-baik saja, sekali lagi aku melihat suster cantik itu memasuki ruangan dengan sebuah Map biru yang bergambarkan logo rumah sakit. Kali ini kami mendapatkan urutan ke tujuh. 

Setengah jam kemudian nama suamiku di panggil dan kami memasuki ruang yang dingin ini namun kali ini dinginnya begitu beberbeda. Kami berdua duduk dan sang dokter mengambil sebuah map biru, yang tadi di bawa suster cantik itu. 

Sebelumnya bapak dan ibu di harap tidak terkejut, kami berdua bertambah resah. Map itu berpindah tangan ke tangan suamiku. Perlahan suamiku membuka map tersebut, sekarang wajah suamiku berubah menjadi tatapan kosong, setelah membaca isi map tersebut. Aku mengenggam tangan suamiku dengan erat. 

Maaf bapak, bapak terkena Infertilitas . aku kaget mendengar kalimat itu serasa langit mulai runtuh dan menjatuhi kami berdua. kembali aku melihat suamiku yang menjadi diam dengan penuh tatapan kosong. Aku dan suamiku Tedy meninggalkan ruangan itu dengan map biru yang aku bawa di tangan kiriku.

Suatu ketika tatapan yang dulu mesra kini berubah yang kulihat hanyalah dingin pada suamiku. Sayang, kita masih percaya sebuah muksizat itu ada. Sebaiknya kita berusaha, sabar dan berdoa, kataku. 

Sekarang bulan kesebelas, suamiku masih tetap dingin.

Suatu malam pada bulan kesebelas ini, ketika kami berdua di atas tempat tidur. Suamiku memberi sebuah pertanyaan yang membuatku merasa naik pitam. Sayang, apakah kau masih mencintaiku, ucap suamiku Iya, aku masih mencintaimu hingga usiaku habis.

“sayang, maaf aku tidak bisa memberi sebuah keturunan”.

Sejujurnya aku membenci sebuah pertanyaan seperti ini, setidaknya kau tak perlu membicarakan ini lagi, Ketusku.

“Putri, kamu boleh menikah lagi dengan lelaki lain aku ikhlas kamu menikah lagi”

“Sayang, maaf sebelumnya Bila keinginan ini membuatmu sedih”.

Aku tak akan menikah lagi sampai kapanpun, aku mencintaimu dari lebih dan kurangnya. istirahatlah dulu, waktu telah larut.

sementara aku masih berselimbutkan sedih, di balik lampu kamar yang menyala temaram, aku berpura-pura tidur. Aku mendengar kau mengucap maaf, sebelum kau tertidur pulas. Aku ingin menjaga sebuah ke angurahan tuhan, yaitu takdir. Takdir untuk mencintaimu semampu usiaku.
masih di beri kesempatan untuk bangun di pertengahan malam-mu, sepasang mataku melihat sesosok lelaki yang mulai menua tertidur pulas. Diriku beranjak pergi dari tempat tidur, bergegas mengambil air wudhu. 

Rabb.
Biarlah Cintamu dan kasihmu saja yang kuharapkan,
Pada baiknya aku memohon ampun dan berterima kasih
Memohon petunjukmu, ku serahkan semua kata-kataku padamu.
Amin.


Kau masih tertidur pulas di atas kasur yang membuatmu nyaman. Di depan cermin berukuran 72 x 50 cm tubuhku yang tak lagi muda dan beberapa helai rambut mulai merubah warna tadinya hitam kini menjadi putih.

Dengan wajah yang berpura-pura melupakan obrolan semalam, aku mulai terenyum ke arah suamiku. Kedua bola mata suamiku sudah tak lagi kosong. Keharmonisan kembali bercerita di atas meja makan. Wangi sabun dan rambut yang kau sisir rapih, kau telah kembali menjadi suamiku lagi, pagi ini.

Di sebuah Terminal Bus, suamiku memesan tiket sedangkan aku duduk di kursi kayu panjang yang mulai lapuk. Dari arah sebrang suamiku mencari diriku yang tertutup banyak orang, aku lambaikan tangan ke arah suamiku, suamiku berlari kecil ke arahku. kita berangkat sekitar jam dua belas siang, sayang. akhirnya kami berdua meninggalkan sisi terminal yang mulai banyak asap rokok yang mengantung di langit-langit. Kami duduk di sebuah ruang di sisi temboknya bertuliskan Area bebas asap rokok. Aku tau, suamiku membenci asap rokok. Dari dalam tas aku mengambil sebuah sapu tangan berwarna merah jambu, ku usapkan ke dahi suamiku yang basah oleh butiran-butiran kecil keringat. Terima kasih, sayangku, begitu lirih suamiku mengucapnya.

Aku melihat dari dalam ruang, hujan mulai membasahi seluruh terminal, orang-orang mulai berlarian mencari tempat berteduh. Acap kali suamiku selalu melihat ke arah jam yang melingkar di tangan kirinya. Ayo kita berangkat, bus sudah datang. akhirnya aku mencium sebuah bau yang khas setelah selesai hujan. Bus yang kami naiki bertuliskan Jogja. Jujur aku tak tau suamiku mau membawaku ke mana. Kaca dalam bus mulai mengembun aku menuliskan namamu dan namaku. 

Aku dan suamiku pergi meninggalkan kota kelahiranku sementara, dengan sisa hujan sebagai jejak ban bus yang mulai meninggalkan terminal. empat jam aku duduk di kursi Bus dan bergelut dengan dingin di dalamnya. 

Malam pertama aku habiskan di pinggiran jalan malioboro dengan makan malam khas Yogyakarta. Aku dan Tedy lahap memakan apa saja yang telah di pesan, setelah selesai aku dan suamiku mulai berkeliling malioboro dengan tas ransel yang mengelantung di pundak. Kami berdua berjalan kaki mencari sebuah hotel ataupun motel murah di sekitar daerah malioboro. Setengah jam berkeliling akhirnya aku menemukan sebuah hotel dengan sebuah nama Hotel Puspo Nugroho. Hotel Puspo Nugroho mempunyai 24 kamar mempunyai empat tipe kelas di setiap kamarnya, suamiku memesan kamar yang paling murah karena kami hanya sebentar karena pagi-pagi kami harus pergi. Aku selalu bertanya kepada seseorang di dalam kepalaku, sebenarnya kita mau pergi kemana. Suamiku membawa sebuah kunci kamar, lantas kita berdua menuju kamar beristirahat.

Subuh datang lebih cepat, aku melihat samping kananku suamiku sudah tak berada di kasur. Ponsel dan seluruh barangnya tergeletak di atas meja. ada seseorang yang mengetuk pintu, sepagi ini. aku membukanya, ternyata pelayan hotel mengantarkan sebuah dua cangkir teh hangat. Pukul 05.30 pagi suamiku masih tak kunjung datang, teh yang aku minum tinggal setengah dan mulai mendingin. Mendengar langkah kaki yang mulai mendekat ke arah pintu kamarku, ternyata Tedy suamiku. membawa sebuah kunci motor. Sayang, minum tehnya dulu, suamiku langsung meminumnya dengan perlahan. Terima kasih pagi dengan seluruh kesederhanaanya. Sayang kita berkemas, sayang kita sebenarnya mau pergi kemana. Suamiku tak menjawab pertanyaanku. Dalam hati aku sedikit kesal dengan itu, sebenarnya aku mau di bawa kemana.

Tas ransel sudah kami kenakan, wangi suamiku begitu menusuk hidung dan seluruh kamar mulai membau parfum suamiku dan parfum punyaku, aromanya begitu wangi. aku begitu menyukainya. Suamiku mengunci kamar, aku berjalan menuju ruang utama. Suamiku membayar seluruh biaya penginapan,semua selesai. Aku melihat sebuah motor berwarna hitam yang bercampur oranye pada setiap bagiannya. Suamiku memakaikan sebuah helm padaku. Aku mulai melingkarkan tangan di pinggang suamiku. sekali lagi aku bertanya, sayang kita mau pergi kemana, tenang sayang kita akan pergi ke daerah Tepus, Gunungkidul.

Kurang lebih jarak yang kami tempuh sekitar 70km, Tepus tempat yang kami tujuh. Jalanan begitu sepi. banyak sekali papan yang bernamakan nama pantai Indrayanti. Kami berhenti di sebuah penginapan dengan nama Walet Guest House, Bentuknya rumah panggung terbuat dari dinding anyaman bambu yang dilapisi tirai kain di sebelah dalam. Kami menaruh barang-barang kami dan beristirahat. 

Sore telah tiba, Pantainya berpasir putih, air laut sejernih kaca dengan ombak yang tak terlalu besar. Sepanjang garis pantai aku dan suamiku berjalan dan meninggalkan jejak telapak kaku kami berdua. lembayung-lembayung oranye mulai nampak di langit. Aku dan suamiku melewatinya dengan duduk di pasir yang memutih ini. 

Senja peratamaku, suamiku semakin erat menggenggam telapak tanganku. Suamiku mulai bercerita tentang sejarah Pantai Indrayanti ini ternyata dulunya bernama Pantai Pulang Syawal, namun namanya malah lebih populer dengan nama Pantai Indrayanti. Usut punya usut ternyata penamaan Pantai Indrayanti dikarena salah satu cafe & resto disana dinamai "Indrayanti". Dan para wisatawan menganggap pantai ini namanya Indrayanti.

Aku mendengarkan dengan baik ketika suamiku mulai bercerita. senja di ujung sana mulai habis seluruh langit pantai Indrayanti berwarna oranye. Dan meninggalkan siluet tubuh kami berdua tergambar pada pasir putih.


Di sebuah kamar yang gelap, hanya tercium aroma tubuh, kami merayakan sebuah cinta dan kasih sayang. Aku mencintaimu, pada sebuah bibir kami saling menyentuh.

Penulis: okdiyan
23/03/14

No comments

Post a Comment

© Okdiyan Artha Kusuma | @nebulasenja
Maira Gall
| Published By Kaizen Template | GWFL | KThemes