Hujan bulan Juni.
Malam yang masih terjaga, diriku masih terbaring diatas
kasur yang dingin, remang lampu masih menghinggapi kamar. Aku berdoa esok pagi turun hujan. Getar ponsel
membangunkan tidurku yang nyenyak, aku melihat ke arah jendela bulir-bulir rintik
hujan membasahi tepian jendela. Bau kayu yang basah serasa aku kembali
memahami, hidup tak ada yang sempurna.
Diriku tak lagi sendiri kali ini aku mempunyai kekasih,
bernama Lastri. Ia wanita yang selalu membangunkan aku ketika subuh datang,
terkadang ia selalu menasihatiku dengan cerewet. Perhatian Lastri padaku
terlalu berlebihan namun aku menyukainya.
Hujan bulan Juli
Diriku masih saja seperti ini. Lastri masih saja cerewet dan
membangunkanku ketika subuh. Matahari yang menjulang tinggi, sinarnya mengintip
dari celah jendela kamarku. Televisi masih menyala dan orang-orang di dalamnya
menatap aku. Diriku masih saja membisu, beberapa jam kemudian mendung
menggantung-gantung di langit. Bulir-bulir hujan membasahi seluruh permukaan
jendela.
Hujan bulan September.
Lastri dan aku berjalan menyusuri sepanjang pantai dengan
desir pasir putih yang menempel –nempel seluruh permukaan kaki. Matahari mulai condong, sore
kian jatuh terlalu cepat. Hembusan angin pantai memainkan rambut Lastri dengan
lucu terbang kesana-kemari. Bias pantulan matahari sore menyinari seluruh air
laut. Seakan-akan aku ingin berlama-lama dan tak ingin berkahir. Aku belajar
tentang terbit dan tenggelamnya matahari. Sekali lagi dunia ini pasti ada
kepergiaan lalu munculah kedatangan. Seperti halnya cinta.
Lastri dan Danang Sejujurnya mereka berdua tidak ada.
No comments
Post a Comment